Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka Perkasa Laksana Baja

23 November 2021   12:08 Diperbarui: 23 November 2021   12:14 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini, meskipun belum yakin benar, tapi rasanya cukup beralasan untuk bahagia merasakan pandemi covid-19 mulai melandai. Indikasinya mudah saja, yaitu tidak tampak lagi papan pengumuman di depan rumah-rumah bahwa penghuninya sedang terpapar. Pak Bupati dan bu Bupati tidak lagi secara berkala broadcast melaporkan perkembangan kasus di daerahnya. 

Indikasi lainnya, ambulan tidak sering lagi mondar mandir ke sana ke mari meraung-raung meminta jalan. TOA di mushola tidak lagi berulang-ulang mengumandangkan berita duka karena covid-19. Juga tidak ada lagi berita tabung oksigen menjadi rebutan dan bahan pertengkaran. Pesan-pesan di grup media sosial juga sudah tidak didominasi berita pandemi. 

Tidak menutup kemungkinan juga, kasus melandai karena telah tercapai herd immunity, kondisi ketika mayoritas orang telah memiliki kekebalan. Kekebalan bisa terbangun setelah banyak orang terpapar tetapi berhasil kembali sehat. 

Herd imunity semakin kuat bila ditambah dengan banyaknya warga yang sudah menjalani vaksinasi. Teorinya, semakin banyak orang kebal terhadap suatu penyakit, semakin kecil peluang penyakit tersebut untuk meluas. 

Walau begitu lebih baik selalu siaga dan tetap waspada. Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi terkait pandemi ini. Tidak ada yang tahu pasti. Mungkin pandemi pergi sementara atau mungkin juga sedang bersembunyi di balik kegelapan. 

Sembari berharap pandemi tidak kembali mencuat, ada baiknya dicatat pengalaman bersama covid-19 selama dua tahun belakangan ini. Siapa tahu catatan itu bisa untuk bekal hidup kini dan esok hari. 

Catatan paling membekas di benak banyak orang di awal pandemi adalah tingginya rasa saling curiga. Orang saling curiga dan was-was, orang lain adalah pembawa virus. Begitu curiganya sehingga  kekhawatiran dan kepanikan pun meninggi. Semakin curiga semakin bertambah panik. 

Masuk akal, karena virus ini memang dikabarkan sangat mudah menular. Oleh karena itu salah satu langkah yang diambil di banyak Negara di dunia adalah menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat. Tujuannya meminimalisir kontak antar warga. 

Orang lalu dianjurkan untuk tidak bepergian dan tetap tinggal di rumah. Anjuran ini meskipun tidak luput dari protes dan ekspresi ketidaksetujuan, secara umum dipatuhi. Apalagi aparat pun tidak segan menindak tegas para pelanggarnya. 

Maka, mulai saat itu dikenal WFH. Tidak pandang bulu, dari bos, pengusaha, buruh, karyawan, guru, dosen, mahasiswa, pelajar sampai pedagang kaki lima, semua Work From Home, pekerjaan dilakukan dari rumah. Tempat-tempat pelayanan umum membatasi jam kerjanya. Toko, warung dan sejenisnya harus mengurangi jam usahanya, tutup sementara atau malahan tutup selamanya. 

Cukup berat bagi banyak orang yang hidup dari usahanya sendiri. Berat, karena sumber nafkahnya tertutup, padahal hidup harus terus berlanjut. Menjadi semakin berat karena beralih ke usaha yang lain untuk menafkahi keluarga, tentu tidak semudah membalik tangan. 

Banyak diantaranya yang tidak menemukan pilihan, kemudian mempertaruhkan kesehatan dan nyawanya dari ancaman wabah demi tetap berusaha dan bekerja. Banyak tukang, penjual jasa, pedagang kecil, pemulung, pedagang kaki lima tetap menjalankan usahanya. Hanya kuasa Tuhan saja yang membuat mereka kuat dan tampak tetap sehat. 

Disisi lain, ada juga yang menarik untuk dicatat. Pada saat bersamaan marak kegemaran tanam-menanam. Rumah-rumah sibuk menghiasi diri dengan tanaman bunga dan tanaman hijauan lainnya seperti tanaman obat, jamu dan tanaman keperluan dapur. 

Banyak orang tertolong oleh tanaman dan produknya yang ternyata bisa menjadi sumber penghasilan baru. Ditambah dengan yang secara kecil-kecilan beternak ayam dan ikan. Meski mungkin tidak seberapa, tetapi hasilnya bisa membuat dapur kembali ngebul. 

Menakjubkan, aneka ragam usaha yang dilakukan mayarakat cukup menolong mereka untuk mencukupi sendiri kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ini mungkin yang disebut oleh Clifton R. Wharton (1963) sebagai bentuk ekonomi subsisten. 

Secara tidak langsung, masyarakat telah menunjukkan daya tahannya dari gempuran pandemi dan dari masalah hidup apapun wujudnya. Ternyata terbukti, masyarakat memiliki mental sekuat baja, sekenyal bola bekel dan seliat lempung. Apapun tekanannya selalu bisa menemukan cara untuk bertahan bahkan kemudian menang. 

Mereka bisa bertahan karena tidak berpikir muluk-muluk. Tidak berpikir bahwa sesuatu yang sangat dibutuhkan saat pandemi atau saat bencana datang akan mudah dan murah didapat. Bukan malah tiba-tiba menjadi barang langka, mahal dan susah didapat atau bahkan hilang dari pandangan. 

Mereka juga tidak peduli berapapun ongkos menjalani prosedur mendeteksi virus melalui PCR atau lainnya yang harus dikeluarkan jika pergi ke suatu tempat naik pesawat. Mereka memilih tidak bepergian. 

Mereka juga tidak peduli penderitaannya justru dimanfaatkan orang untuk menumpuk keuntungan demi mempertebal pundi-pundinya. Hidupnya sudah "kaya" dan penuh syukur. 

Mereka bukan orang-orang yang tampak macho tetapi sebenarnya bikin repot, mereka bukan orang-orang yang tampak gagah tetapi sebenarnya bikin susah, mereka juga bukan orang-orang yang tampak bijak tetapi sebenarnya bikin rusak. 

Di masa-masa berat seperti itu, Negara patut bersyukur karena mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Setidaknya mereka tidak merepotkan, apalagi menggerogoti Negara. 

Selalu saja, dalam hidup yang pada dasarnya adalah pergerakan dari satu masalah ke masalah lain, ditemukan banyak catatan yang bermanfaat untuk bekal hidup. Antara lain bagaimana caranya supaya dalam keadaan apapun bisa terus bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun