Hari Selasa 20 Juli 2021, adalah hari terakhir pemberlakuan PPKM Darurat untuk Jawa dan Bali.. Kebijakan penting ini berlaku mulai 3 Juli 2021 dan diputuskan oleh Presiden beberapa waktu yang lalu. Kbijakan diambil sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona yang terus meningkat belakangan ini.Â
Disebut darurat karena kondisi pandemi lebih gawat, pengawasan lebih ketat dan tindakan lebih tegas dari sebelumnya. Harapannya upaya ini akan berjalan lebih efektif dan tujuan segera tercapai lebih cepat.Â
Evaluasi atas efektifitas pemberlakuan ketentuan ini pasti ada. Tulisan ini tidak membahas itu, tapi menyoroti beberapa fenomena menarik dari pemberakukan PPKM Darurat kali ini.Â
Efek penerapan pembatasan ini langsung terasa. Beberapa di antaranya bisa disebut di sini seperti jalan raya, jalan besar dan tempat keramaian menjadi tidak sepadat biasanya, frekswensi lalu lintas orang dan kendaraan menurun, kerumunan dan potensi penyebaran juga tampak berkurang.Â
Itu akibat dari penyekatan dan penutupan akses ke jalan-jalan tertentu dan pembatasan jam buka warung, toko dan mall diterapkan dengan tegas. Bahkan pada waktu yang sama, dalam skala lebih besar, di Jawa Tengah-Jawa dan Jawa Timur, diberitakan menutup 26 pintu masuk jalan toll. Ketegasan yang tidak bisa dianggap sepele.Â
Namun di sisi lain, ternyata berkurangnya keramaian, turunnya frekwensi lalu-lintas dan kerumunan tampaknya tidak terjadi secara merata. Di area penyekatan dan penutupan jalan memang terasa sepi. Tidak ada orang berkendara dan berlalu lintas membongkar pembatas jalan dan memaksa masuk.Â
Tapi, ibarat pepatah, selalu ada jalan lain menuju Roma. Sebagian orang tetap saja berusaha memenuhi hajat hidupnya dan berjuang menemukan jalannya menuju sasaran yang berada di areal tertutup. Maka kemudian gang, lorong, jalan setapak menjadi jalan tikus.Â
Kita tentu paham, "jalan tikus" ini sudah ada jauh sebelum dibangun jalan besar, jalan raya dan pusat keramaian. Dari jalan "rahasia' inilah orang tetap bisa masuk area terbatas.Â
Karena "rahasia", maka bagi yang tidak biasa lewat, memang tidak gampang menapaki jalan tikus. Orang terus berusaha dan sangat tertolong oleh sifat masyarakat yang umumnya mudah jatuh kasihan dan suka membantu.Â
Dengan suka rela dan ramah, mereka membantu ketika ada kendaraan masuk gang dan kebingungan mencari arah. Saking baiknya, bahkan kemudian dibuatkan rambu petunjuk arah di sudut-sudut gang. Rambu-rambu petunjuk arah sederhana dan seadanya. Rupanya karena bersifat darurat juga.Â
Tidak disadari bahwa bantuan penuh keramahan seperti itu sebenarnya sama dengan memberi peluang terjadinya perpindahan pergerakan orang dari jalan besar ke jalan-jalan kecil, gang di pinggir-pinggir jalan. Dengan kata lain membuka peluang penyebaran sumber pandemi lebih merata ke pelosok dan pinggiran.Â
Respon masyarakat terhadap pembatasan aktifitas memang beragam. Ada yang taat dan patuh. Ada juga yang sampai ditindak aparat dengan cara lembut maupun tegas sebagaimana diberitakan media masa.Â
Banyak faktor berpengaruh di sini hinga orang rela mempertaruhkan kesehatannya. Dari urusan perut, yang memang tidak bisa menunggu, hingga demi rasa bebas dari kejenuhan mendekam di rumah. Meski tidak terjadi di semua tempat, hal-hal seperti ini tetap perlu mendapat perhatian.Â
Bisa jadi ini adalah tanda bahwa apa yang dianggap sebagai masalah besar ternyata bukanlah yang utama bagi yang lain. Ada ketidaksamaan pandang terhadap apa yang ingin dicapai dengan PPKM Darurat.Â
Rupanya pandemi ini belum mencapai level menjadi sesuatu yang harus ditanggulangi bersama. Kita perlu meneladani kekuatan leadership para pemimpin dulu. Bagaimana saat itu ketika pemerintah membangun kerangka berpikir bahwa kebodohan adalah musuh bersama yang kemudian diikuti dengan program wajib belajar. Orangpun lalu berlomba-lomba sekolah dan mendorong anak keturunannya menjadi orang pintar.Â
Atau juga bagaimana orang melihat peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebagai suatu hal yang harus diberantas. Atau bisa ditambah lagi dengan perbuatan korupsi sebagai contoh lain. Hampir semua orang berpandangan sama bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan harus dihentikan.Â
Atau mari kita mundur jauh ke belakang, ke era Orba dulu. Bagaimana pemerintah jaman itu memandang paham bernama komunis. Apapun bentuknya, tulisan, omongan, buku, lagu, sekali mendapat cap komunis, habislah riwayatnya.Â
Atau lebih mudah lagi dibayangkan, bagaimana para pendahulu kita dulu meraih kemerdekaan. Hampir semua berpandangan satu bahwa yang namanya penjajah harus diusir dari tanah air. Musuh utama perjuangan kemerdekaan dulu adalah penjajah.Â
Sekarang ini sudah jelas pandemi harus segera diatasi, diputus rantai penularannya dan dihentikan penyebarannya lalu dikuatkan warganya. Korban sudah berjibun banyaknya dan tidak perlu bertambah lagi. Â Sudah sekian lama kita bergelut dengan penderitaan, tekanan, dan ketidak jelasan masa depan.Â
PPKM Darurat memang sudah berakhir, tetapi pandemi belum juga berhenti. Tidak ada kata lain selain taati aturan ikut berjuang meraih kehidupan normal. Â Ataukah Anda masih mau ada kebijakan susulan bernama PPKM Gawat Darurat? Jangan sampai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H