Beberapa tahun yang lalu pepatah berbunyi "don't judge a book by its cover" sering dilontarkan oleh Tukul Arwana dalam sebuah acara stasiun TV swasta. Artinya kurang lebih, jangan menilai buku dari sampulnya.Â
Menilai sebuah buku hanya dari sampulnya hasilnya bisa menyimpang dari makna dan isi buku tersebut. Â Demikian juga orang. Menilai seseorang hanya dari penampilannya bisa menghasilkan kesimpulan yang keliru.Â
Itulah yang membuat Lebaran Idul Fitri beberapa hari yang lalu terasa istimewa. Bukan karena ramai plesiran atau ngumpul-ngumpul bocah seperti lebaran-lebaran dulu. Pemerintah telah melarang mudik dan menghindari kerumunan. Lebaran kali ini istimewa karena bertemu kenalan lama tanpa rencana.Â
Pertemuan yang tidak terduga dengan Heri Blek. Orang yang pernah kerja sekantor tapi kemudian berpisah karena dia keluar akibat pengurangan karyawan. Nama aslinya singkat saja, Herry. Di kantor mendapat nama tambahan Blek gara-gara kulit tubuhnya yang hitam dengan rambut ikal berwarna hitam legam. Â Blek memang merujuk pada kata black yang berarti hitam. Â Â
Pekerjaannya dulu sebagai Office Boy (OB) mengurus kebersihan, menyediakan minuman dan segala rupa kebutuhan karyawan. Minuman kopi hitam buatannya selalu pas pahit dan manisnya di lidah. Tugas sebagi OB dijalaninya dengan disiplin, selalu datang paling awal dan pulang paling akhir.Â
Heri Blek sangat dikenal karena kerajinan dan kesediaannya membantu siapa saja yang menurut pandangannya memang memerlukan bantuan.Â
Tidak harus karyawan di ruang kantor yang diurusnya saja. Â Karyawan di ruang sebelah pun dibantu tanpa meninggalkan tugas utamanya. Sikapnya yang ringan tangan membuat semua pekerjaannya selalu beres pada akhir jam kantor.Â
Kulit hitam dan wajah kurang tampan tidak mengurangi orang untuk suka padanya. Senyum dengan gigi putihnya menjadi penutup kekurangannya. Â Hampir dalam segala situasi senyumnya tidak pernah ketinggalan. Begitupun pada hari-hari menjelang pergantian bulan saat banyak orang berwajah muram, dia tetap senyum. Â Â
Kalau ditanya berapa gajinya dalam satu bulan, dia akan menjawab dengan gurauan, sepuluh koma. Artinya, di atas tanggal sepuluh dia "koma".Â
Bagusnya dia mampu membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Menurutnya seberapapun akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi akan kurang kalau dipakai untuk memenuhi keinginan hidup.Â
Tampaknya Heri Blek suami yang bahagia, karena ternyata istrinya juga seorang ibu rumah tangga yang murah senyum. Â Suasana rumah tinggalnya, meski sederhana, tetapi terawat rapi dan bersih. Â Cermin kepribadian dan pola hidup yang terbawa dalam perilaku sehari-hari. Â Â
Namun begitu di awal-awal kerjanya, Heri Blek perlu waktu cukup lama agar "kehadirannya" diterima di kantor. Orang kantor ternyata juga sama, perlu waktu beberapa lama untuk bisa akrab dan percaya kepada Blek.Â
Sebuah proses sosialisasi yang wajar apabia melihat fisiknya yang berotot, perilakunya yang tidak banyak polah dan mulutnya yang lebih sering tertutup.Â
Semua itu memang bisa membuat orang tidak begitu mudah untuk merasa dekat. Ditambah lagi Heri Blek memiliki sorot mata tajam dengan gerak geriknya dan bahasa tubuhnya susah diduga.Â
Kalau saja Heri Blek diberi kesempatan ikut casting peran sinetron, dapat dipastikan akan mendapat peran kriminal, bengis, rajatega, ringan tangan (suka memukul) dan mau menang sendiri. Peran antagonis cocok baginya.Â
Padahal perikehidupan sehari-harinya sangat berbeda. Datang ke kantor tidak pernah terlambat, pulang kerja tidak pernah terlalu cepat. Suka berkerja keras, cekatan, trampil, suka membantu, ringan tangan, tidak pernah diam, tidak pilih-pilih dan, sekali lagi, banyak senyum.Â
Teman-temannya malah sering menjadi malu hati melihat Heri Blek. Malu hati karena berburuk sangka terhadap penampilannya yang dianggap kurang sempurna. Ternyata, sesuai dengan beban kerjanya, dia bekerja dengan lurus, jujur, benar dan bersih. Sebuah etos kerja yang bisa berujung kinerja sempurna. Diam-diam rupanya itulah pelajaran dari Heri Blek: jangan melihat sesuatu dari penampakannya saja.Â
Tentang penampakan, alam raya memberi contoh dengan sangat jelas. Banyak buah yang penampakannya tidak menarik tetapi rasanya enak dan dicari orang banyak. Buah durian, misalnya, meskipun kulitnya penuh duri tetapi berharga mahal dan dikejar-kejar penggemarnya. Juga salak, nanas, rambutan dan kolang-kaling. Atau bunga mawar, bunganya indah berwarna-warni menarik, tetapi tangkainya penuh duri. Â Â
Demikian juga dengan manusia. Adolf Hitler, Asmuni Srimulat, Jojon dan Charlie Chaplin. Mereka semua sama-sama memelihara kumis secuil di atas bibir. Dari empat orang ini, yang tiga orang tampil jenaka untuk menghibur, sedangkan yang satu, Adolf Hitler, dikenal sebagai tokoh Perang Dunia II dan tentu jauh dari niat menghibur.Â
Jenderal Besar Soedirman pun adalah sosok yang jauh dari kesan manusia berotot kawat bertulang besi. Perjalanannya memimpin perang gerilya melawan Belanda harus dilakukannya dari atas tandu karena kondisi kesehatannya. Tetapi dia sangat ditaati anak buah, dihormati rekan seperjuangan, disegani lawan dan kemudian dikenang sebagai Pahlawan Kemerdekaan.Â
Jenderal Besar Soedirman menunjukkan bahwa menjadi jenderal tidak selalu harus terlihat seperti Rambo. Sejarah Eropa juga memiliki tokoh penting bernama Napoleon Bonaparte yang secara fisik tidak segagah sejarah yang ditorehnya.Â
Sebaliknya banyak juga tokoh-tokoh yang memenuhi imajinasi orang sebagai sosok seorang pemimpin yang berwibawa sekaligus juga gagah perkasa. Sebut saja Bung Karno dan Pak Harto.Â
Tetapi di dunia ini jangan harap segalanya lurus. Dalam kehidupan dunia nyata, keadaan kerap menjadi terbolak-balik. Ada orang menampilkan diri dengan sikap berbudi bahasa halus dan laku santun hanya untuk menutupi tindak kejahatannya. Tampak intelek dan berwajah ramah, ternyata terlibat tindak pidana merugikan negara.Â
Tak pelak, orang memang harus selalu ekstra hati-hati dalam memilih. Baik memilih teman, calon pasangan, calon mertua, calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah maupun pemimpin bangsa. Akan bijaksana kalau sebelum memilih, apapun orientasi politik, ekonomi dan status sosialnya, lihat dulu penampilannya, dalami isi kepalanya, isi hatinya dan perilakunya. Keliru memilih bisa menimbulkan sesal setahun, lima tahun atau seumur-umur. Â Â
Kembali ke Heri Blek. Setelah keluar kerja, dia sempat menjajagi bermacam usaha semampunya sampai akhirnya membuka usaha angkringan. Dia tidak kawatir tampangnya akan menghalangi orang datang membeli dagangannya. Dia lebih khawatir pada hadirnya para preman berpenampilan halus yang mencoba meminta dengan paksa, memeras, mengambil keuntungan dari kerja keras orang lain. Heri Blek mengatakan akan melawan. Kesewenang-wenangan dan sikap mau menang sendiri memang harus dilawan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H