[caption id="attachment_275360" align="alignnone" width="576" caption="Ribuan Buruh Kota Bekasi Memenuhi Jalan Ahmad Yani Di Depan Pemkot Bekasi"][/caption]
Hari ini ribuan di Bekasi dari berbagai elemen organisasi buruh turun ke jalan. Mereka menyuarakan satu isu yaitu kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP). Namun saya tak akan membahas masalah besaran UMP yang hingga kini menjadi polimik antara kaum buruh dan kaum pengusaha. Turunnya buruh di jalanan dan menyuarakan tuntuntanya bagi saya merupakan hal yang menarik untuk di cermati. Selain hal ini menjadi indicator bahwa pengetuhuan buruh makin cerdas namun ini juga indicator ada sesuatu yang harus dibenahi bersama.
Untuk istilah buruh sendiri saya kurang setuju dengan pemahaman sempit dari berbagai kalangan, dimana label  buruh disematkan hanya pada karyawan pabrik semata. Jika buruh kita artikan sebagai karyawan maka mungkin hampir 90 persen kita semua adalah buruh walau dengan profesi yang berbeda-beda. Namun kelihatannya kita telah memarginalkan istilah buruh pada kelompok tersebut. Terbukti jika para pekerja pabrik berunjuk rasa maka masyarakat akan mengatakan buruh sedang demo. Lain halnya jika para wartawan sedang berunjuk rasa kepada menejemen mereka, maka masyarakat tidak serta merta menyatakan label buruh sedang berdemo. Demikian juga dengan profesi-profesi yang sama, walua pun isu yang disuarakan tetap sama yaitu kesejahteraan karyawan.
Dalam kehidupan berbangsa, kita sepertinya lupa bahwa mayoritas kaum urban adalah di isi pada strata buruh. Sebagai mayoritas ternyata malah sulit sekali atau malah tak ada pemetaan yang jelas terhadap mereka. Dalam rumah pembangunan bernegara buruh itu sebenarnya terletak pada ornamen yang mana. Jika negara ini ditopang oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif, terus kelas pengusaha atau bahkan UKM merupakan instrumen utama dalam bidang ekonomi. Sedang kaum intelektual atau akademisi serta insan pers dan LSM adalah jembatan sekaligus pengontrol segala kebijakan.
Nahh......untuk buruh, berada pada orbit yang mana. Padahal kelas karyawan adalah mayoritas penduduk di republik ini. Mungkin ada baiknya para aktivis buruh berbicara mengenai positioning tadi, sehingga jika sudah jelas letaknya berada dimana insya Allah perjuangan akan lebih mudah. Selama ini buruh hanya dikelaskan pada kelas pekerja, yang seolah-olah tidak berhak berbicara politik, ekonomi global dan juga permasalahan besar lainnya. Buruh atau pekerja tak berhak untuk menentukan kebijakan apa pun, bahkan untuk kenaikan upah saja memerlukan energi dan mobilisisi massa yang sangat luar biasa.
Hingga saat ini kesejahteraan buruh masih menjadi item nomor sekian dari urut-urutan nilai anggaran yang dikeluarkan oleh sebuah pabrik. Bahkan kerap terjadi biaya iklan jauh lebih besar daripada biaya gaji buruh. Kita ambil contoh saja misalnya pabrik rokok, entah berapa milyar rupiah saja mereka menghabiskan anggaran untuk iklan baik di TV, cetak atau pun reklame. Lalu kita tanya, berapa besar gaji buruh pabrik rokok itu. Saya memiliki keyakinan bahwa besarnya anggaran untuk iklan dan event-event lain jauh lebih besar daripada anggaran untuk gaji buruh.
Masih banyak para bos-bos pemilik pabrik pabrik itu memberlakukan karyawannya hanya sebagai pekerja saja, bukan sebagai aset yang dapat memajukan usahanya. Yang mereka anggap aset masih sebatas pada eksekutif mungkin setingkat supervisor atau malah manger dari pabrik-pabrik tersebut, sehingga rata-rata mereka memiliki pendapatan jauh di atas para buruh. Sudah saatnya kita mensuarakan penyadaran-penyadaran itu semua, sehingga para pemilik pabrik pun memberikan upah yang cukup untuk kebutuhan sebuah keluarga kepada pekerjanya.
Di sisi lain juga buruh sudah sewajibnya untuk untuk menambah pengetahuan dan juga ketrampilan. Disaat sistim rekrutman buruh yang sangat tidak menguntungkan seperti saat ini, kita wajib menambah dan mengasah ketrampilan untuk memenangkan sebuah persaingan. Jika teman-teman buruh hanya mengandalkan massa dan juga arogansi kebersamaan maka haqul yakin untuk lima bahkan sepuluh tahun ke depan kita akan tetap seperti ini. Setiap ingin naik gaji maka akan demo bareng-bareng, yang efeknya hampir semua elemen masyarakat merasakan imbasnya. Macet terjadi dimana-mana bahkan di kawasan industri wilayah Kabupaten Bekasi terjadi bentrokan. Lalu apa kah kita akan pertahankan keadaan seperti ini. Alih-alih mendapat simpati malah kadang caci maki dan gerundelan dari masyarakat yang merasa terganggu aktivitasnya.
Teman-teman aktivis buruh, saya hanya ingin memberikan masukan terhadap perjuangan teman-teman semua. Cobalah untuk berfikir yang mendasar dalam bingkai yang lebih lebar, bukan hanya berkutat terhadap kenaikan upah semata. Coba petakan, sehingga buruh itu berada di sisi mana dalam proses pembangunan berbangsa dan bernegara ini. Setelah sudah ditetapkan maka bagaimana dengan posisi itu kaum buruh dapat berkontribusi serta menjadi penentu arah sebuah pembangunan. Sehingga nilai tawar dari kaum pekerja akan meningkat secara sendirinya, intelektual buruh juga harus sudah mulai membangun opini yang lebih besar. Jika sudah jelas arahnya maka kesejahteraan akan dapat di raih tanpa harus selalu mengerahkan massa besar-besarnya guna menekan atau turut dalam pengambilan sebuah kebijakan.
Pening juga nih nulis sambil dengerin orasi, haduh......ini pulang lewat mana yaaaaa, jalanan pada banyak ditutup sama pak polisi........macet pula hehehe..... (sarkehchandra@yahoo.co.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H