Mohon tunggu...
Yeksa Sarkeh Chandra
Yeksa Sarkeh Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

"Berkarya Ngga Usah Banyak Omong"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perlunya Menghormati Simbol-simbol Bernegara dan Bermasyarakat

23 November 2013   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:47 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="439" caption="Karikatur Karya Mas Koesnan Hoesni"][/caption]

Keadaan dewasa ini  telah berkembang degradasi penghormatan terhadap simbol-simbol kehidupan baik kehidupan bernegara maupun kehidupan bermasyarakat.  Simbol ataupun lembaga-lembaga ini baik formal maupun non formal kewibaannya terus tergerus oleh pengetahuan demokrasi masyarakat yang tumbuh dengan baik namun dicederai oleh tingkah polah oknum pemangku amanah pada lembaga tersebut.

Kita termasuk saya di dalamnya, begitu mudah mencaci maki Presiden, Menteri, Gubernur atau pun Walikotanya masing-masing. Simak saja kicauan di Twitter, FB atau media sosial lainnya, betapa kita begitu mudah mencaci para pemimpin kita. Bukan hanya tingkatan level tinggi, bahkan dari yang terkecil pun seperti ketua RT, ketua RW, Imam Mushola kita juga tak luput dari caci maki. Jangan bicara tentang penegak keadilan kita, mungkin jika cacian itu berupa beras maka cacian untuk penegak keadilan sudah berkarung-karung memenuhi gudang sejarah.

Saya juga tak mungkin menyalahkan masyarakat yang memaki karena kadang para pemangku amanah itu memang pantas untuk di maki bahkan di bui. Namun merosotnya kewibawaan lembaga-lembaga itu juga merupakan hal yang serius menurut saya untuk di cegah. Banyak hal-hal yang seharusnya bisa selesaikan di tengah masyarakat namun menjadi rumit dan berlarut karena ketiadaan wibawa lembaga yang ada. Waktu dan biaya yang ditanggung oleh masyarakat akan menjadi lebih besar.

Saya jadi ingat peristiwa bulan yang lalu, tiba-tiba teman baik saya menelpon bahwa dirinya berada di Mapolres Kota Bekasi. Ternyata teman saya itu sedang mengurus Bapak Mertuanya yang tiba-tiba siang hari di jemput oleh pihak Kepolisian dan langsung di tahan. Satu hari satu malam Mertua teman saya itu di tahan, dan hal ini membuat seluruh anggota keluarga menjadi kalang kabut dan cemas terlebih kondisi orang tua mereka memang sudah cukup sepuh. Usut punya usut ternyata pangkal masalahnya merupakan hal sangat sepele yaitu dimana Bapak Mertua Teman saya itu menegur seorang temannya yang suka membuang sampah ke dalam aliran sungai di lingkungannya.

Karena yang ditegur tak menerima maka kedua aki-aki itu terlibat cekcok mulut dan berseteru. Maka terjadilah sedikit kontak phisik diantara keduanya namun cepat dilerai oleh para tetangga dan dihadapkan pada Ketua RT setempat. Namun seminggu kemudian, kejadian ini malah masuk ke Kepolisian gubraaaaakkkkk……..brak ! Kejadian kecil seperti ini seharusnya tak usahlah sampai ke meja polisi jika simbol-simbol kemasyarakatan kita berwibawa. Cukuplah Pak RT atau pun Pak RW yang menyelesaikan, toh sampainya di kepolisian juga mereka di suruh berdamai.

Bisa dibayangkan alangkah repotnya Republik ini jika masalah-masalah sepele seperti itu saja sampai ke meja om Polisi. Besok-besok masalah sandal ketukar saja harus di Kepolisian selesainya, waduh…. Masa om Polisi yang  kita gaji besar Cuma ngurusin hal-hal kecil hehehehe…… nah hal ini tak akan terjadi jika simbol-simbol bermasyarakat seperti RT dan RW cukup berwibawa di mata masyarakat. Dan dahulu permasalahan perselisihan warga cukup diselesaikan oleh Ketua RT, Ketua RW atau pun Lurah tak sampai lapor-lapor ke Kepolisian segala.

Coba kita cermati bersama, berapa banyak permasalahan rumah tangga sampai ke meja polisi. Istri melaporkan suaminya atau pun suami melaporkan istrinya, seolah-olah tiap masalah harus diselesaikan ke meja hukum. Hal ini dikarenakan mereka sudah tak menghormati lagi Orang Tua atau pun Tokoh Agama. Degradasi wibawa juga merambah terhadap Orang Tua, simbol-simbol pengayom telah cedera karena minim penghormatan atau pun suri tauladan. Demikian juga dengan para Tokoh Agama tempat kita semua bertanya, mengalami hal yang serupa. Baiknya dalam berkehidupan bermasyarakat khususnya di kota besar haruslah ada orang-orang yang kita segani, kita teladani bersama di lingkungan. Sehingga permasalahan yang sederhana atau tiap masalah dapat kita sederhanakan tanpa harus menjadi gaduh dan melibatkan banyak orang. Cukuplah orang-orang yang telah disepakati menjadi panutan menengahi perselisihan di lingkungan dan semua akan menerima atau pun selesai walau ada ketidakpuasan namun itu bisa tertututpi oleh kewibawaan sang tokoh.

Perlunya menjaga wibawa simbol-simbol bernegara atau pun lembaga-lembaga menajdi sendi strategis dalam memecahkan tiap permasalahan yang ada. Jika kita melihat ke permasalahan yang lebih besar, peristiwa amuk massa di ruang pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK). Sungguh miris melihatnya, nah kalo urusan perselisihan hasil Pilkada sudah diamuk karena wibawa MK yang sudah tercederai maka kita harus bagaimana lagi. Atau kita alihkan perselisihan Pilkada ke lembaga lain seperti Mahkamah Agung (MA)  misalnya, pertanyaannya adalah apakah MA memiliki wibawa untuk menyelesaikan masalah itu? jika jawabanya tidak, maka dapat kita bayangkan serunya peradilan perselisihan hasil Pilkada ini.

Ketika Saya terlibat dalam penyelesaikan sengketa hasil Pilkada Kota Bekasi di MK pada bulan Februari 2013 wibawa MK masih terjaga. Sehingga ketika ada pihak yang ngeyel atau pun protes dapat diredam dengan hanya perkataan Hakim yang cukup tegas. Ketika Majelis Hakim MK membacakan keputusannya kita semua menerima walau pun nampak jelas kekecewaan di wajah-wajah pada pihak yang dikalahkan. Namun karena wibawa MK masih terjaga maka mereka pun keluar sidang dengan diam dan saling berjabat tangan.

Para Pendiri Negeri ini telah merumuskan struktur bermasyarakat dengan sangat baik. Sehingga saat ini telah terbentuk lembaga-lembaga baik formal maupun non formal yang dapat memecahkan setiap permasalahan pada tiap tingkatannya. Alur kehidupan bernegara telah mereka pikirkan dengan baik hingga ke masa kini. Kita harus menjaga sendi-sendi itu semua, simbol-simbol bernegara dan kemasyarakatan dari mulai tingkat terendah seperti RT dan RW hingga tertinggi seperti Walikota, Gubernur bahkan Presiden harus kita jaga bersama. Demikian juga dengan Orang Tua, Ustadz, Kyai, Romo atau pun Pendeta harus hadir di kehidupan bermasyarakat.

Kewibawaan dapat kita jaga jika para pemangku amanah berbuat sesuai amanah dan tak mementingkan diri dan kelompoknya. Baik itu memperkaya diri maupun menguntungkan kelompoknya semata. Dan juga masyarakat juga jangan mencaci maki lembaga-lembaga tersebut. Silahkan melontarkan kritik namun batasi dengan jelas bahwa kritik tersebut ditujukan pada orangnya atau person si pemangku amanah kepada tiap keputusan atau kebijakannya bukan pada lembaganya. Memang ada baiknya juga ketika kita telah mengkritik santun namun yang dikritik cuek bebek maka kita beralih ke caci maki agar kuping mereka mendengar hehehe……namun bukan pada lembaganya, torehkan garis yang jelas bahwa kita mencaci orangnya ataupun kebijaknnya bukan lembaganya.

Sebenarnya masih mau membahas lagi, namun mood udah keburu ilang gara-gara dapet BBM tagihan utang hedeeeehhhh……… padahal ide sudah tersusun di kepala namun hilang tanpa bekas ketika membaca sederet kalimat tagihan, walaaahhh ya udahlah Saya mau mikir cara membayar hutang dulu abis orangnya rewel wekekekeke…… (sarkehchandra@yahoo.co.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun