Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki sistem hukum yang berakar pada konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam menjaga keutuhan dan supremasi konstitusi, dua lembaga utama memiliki peran sentral: Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi dengan kewenangan untuk menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945 melalui mekanisme judicial review. Putusan MK bersifat final dan mengikat, yang berarti bahwa keputusan ini harus dihormati oleh semua lembaga, termasuk DPR (Suhardin & Flora, 2023).
MK memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945. Hal ini penting untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. MK juga berperan dalam menyelesaikan sengketa konstitusi yang dapat muncul antara lembaga negara dan antara negara dengan warga negara (Guswara & Nasution, 2023). Dengan demikian, MK berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
DPR memiliki peran penting dalam proses legislasi, baik dalam pembentukan maupun revisi UU. Namun, muncul pertanyaan kritis ketika DPR merevisi UU yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK: apakah tindakan ini mencerminkan penghormatan terhadap konstitusi atau justru memperlihatkan upaya mempertahankan kekuasaan? Isu ini menjadi sorotan penting, terutama ketika masyarakat mempertanyakan apakah revisi UU oleh DPR pasca putusan MK benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional atau sekadar upaya untuk mempertahankan kepentingan tertentu.
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat seharusnya menjadi landasan kuat dalam menjaga keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. MK bertugas memastikan bahwa setiap produk legislasi yang dihasilkan DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, praktik menunjukkan bahwa DPR tetap memiliki kewenangan untuk merevisi UU setelah adanya putusan MK, asalkan revisi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh MK. Contoh yang paling menonjol adalah revisi UU Cipta Kerja setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK menimbulkan pertanyaan apakah DPR benar-benar mematuhi putusan MK atau hanya melakukan revisi sebagai formalitas untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu (Hanggara, 2022).
Kondisi ini menimbulkan dilema: di satu sisi, DPR memiliki kewenangan untuk merevisi UU sebagai bagian dari fungsi legislasinya. Di sisi lain, revisi yang dilakukan harus benar-benar mencerminkan penghormatan terhadap putusan MK dan tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional. Ketika DPR memilih untuk mengembalikan atau mempertahankan ketentuan dalam UU yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, hal ini dapat dilihat sebagai tindakan yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Lebih jauh, ini dapat memunculkan persepsi bahwa kekuasaan legislatif lebih diutamakan daripada supremasi hukum.
Selain itu, revisi UU yang tidak sepenuhnya memperhatikan arahan MK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Jika DPR terus melakukan revisi yang kontroversial tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai, hal ini dapat memperburuk citra lembaga legislatif dan memperkuat persepsi bahwa kepentingan politik lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan konstitusi.
Transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam proses revisi UU. Jika DPR terus melakukan revisi yang kontroversial tanpa melibatkan masyarakat, hal ini dapat memperburuk citra lembaga legislatif dan memperkuat persepsi bahwa kepentingan politik lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan konstitusi (Sasmita & Rahaju, 2023). Oleh karena itu, DPR harus berkomitmen untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi agar setiap revisi UU dapat dilakukan tanpa mengorbankan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan demokrasi di Indonesia (Hamdani et al., 2023).
Revisi UU oleh DPR setelah adanya putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024, menjadi ketegangan antara kekuasaan legislatif dan penghormatan terhadap konstitusi. Perdebatan ini semakin kompleks dalam kasus revisi UU Pilkada terkait batas usia, di mana DPR segera menggelar rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Rabu, 21 Agustus 2024, untuk membentuk Panitia Kerja RUU Pilkada. Dalam draf revisi tersebut, Baleg DPR menganulir dua putusan krusial MK, yang memicu protes keras dari masyarakat. Respon cepat DPR untuk mengesahkan RUU melalui rapat paripurna pada hari yang sama, meskipun gagal karena tidak memenuhi kuorum, menambah ketegangan.Â
Tindakan DPR yang lebih mengacu pada keputusan MA daripada MK dalam penyusunan beleid ini memperlihatkan potensi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip konstitusional. Walaupun DPR memiliki wewenang untuk merevisi UU, tindakan tersebut harus dilakukan dengan tanggung jawab dan berdasarkan prinsip supremasi hukum, bukan untuk mempertahankan kekuasaan politik semata. Revisi UU seharusnya menjadi upaya untuk memperkuat tatanan hukum dan menjaga keseimbangan kekuasaan dalam negara demokratis.
Oleh karena itu, DPR harus memastikan bahwa setiap langkah legislasi yang diambil pasca putusan MK benar-benar mencerminkan penghormatan terhadap konstitusi. Transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam proses revisi UU. Hanya dengan demikian, revisi UU dapat dilakukan tanpa mengorbankan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan demokrasi di Indonesia. Dalam menghadapi tantangan ini, pertanyaannya adalah: Apakah DPR akan memilih untuk mengutamakan konstitusi atau justru mempertahankan kekuasaan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan supremasi hukum di Indonesia
Referensi:
Guswara, A. B., & Nasution, A. I. (2023). Dinamika Konstitusionalitas Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan 54/PUU-XXI/2023. JURNAL USM LAW REVIEW, 6(3), 1052. https://doi.org/10.26623/julr.v6i3.7844
Hamdani, F., Fauzia, A., & Wahid, D. N. (2023). Pembangunan Sistem Pelayanan Publik melalui Penyederhanaan In-strumen Perizinan: Kajian Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja sebagai Undang-Undang. National Multidisciplinary Sciences, 2(4), 365--374. https://doi.org/10.32528/nms.v2i4.317
Hanggara, L. H. (2022). DISKURSUS KEBERLAKUAN UU CIPTA KERJA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVIII/2020. Al-Qisth Law Review, 5(2), 233. https://doi.org/10.24853/al-qisth.5.2.233-260
Sasmita, A. N., & Rahaju, T. (2023). IMPLEMENTASI OPEN PARLIAMENT PADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Publika, 1723--1734. https://doi.org/10.26740/publika.v11n2.p1723-1734
Suhardin, Y., & Flora, H. S. (2023). Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Pasca Disahkannya Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja. JURNAL USM LAW REVIEW, 6(1), 320. https://doi.org/10.26623/julr.v6i1.6307
Oleh Sarkanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H