Mohon tunggu...
Sarjito Ir
Sarjito Ir Mohon Tunggu... -

volunteer NGO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bulan Bintang di Mata Gus Dur

2 Mei 2016   12:09 Diperbarui: 2 Mei 2016   15:06 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok politisi lokal dari Partai Aceh (PA) masih terus mempersoalkan sikap Pemerintah Pusat yang hingga hari ini belum juga merestui bulan bintang menjadi bendera Aceh.  Rasa kesal mereka lampiaskan dalam bentuk tindakan sepihak, seperti mengibarkan bulan bintang di halaman gedung DPR Aceh. Namun selalu kandas oleh sikap tegas aparat keamanan. Alasan pemerintah sederhana saja, ada simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam format bendera itu, sesuatu yang secara tegas dilarang oleh peraturan negara. 

Pemunculan bendera sebagai simbol kedaulatan pernah terjadi di masa Gus Dur menjadi Presiden RI. Ketika itu, tepatnya menjelang 1 Desember 2010, kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) hendak memperingati hari lahir OPM dengan mengibarkan bintang kejora.  Polisi dan TNI pun sibuk melakukan penyisiran di Papua untuk menangkap warga yang akan mengibarkan bendera OPM.

Di sisi lain, Gus Dur justeru mempersilakan bendera bintang kejora dikibarkan di Papua pada peringatan 1 Desember tersebut. Apa alasannya?

Gus Dur menyebut bahwa bendera Bintang Kejora hanya sebuah umbul-umbul seperti yang ada ketika pertandingan sepak bola. “Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepakbola saja banyak benderanya!" ucap Gus Dur . http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-gus-dur-persilakan-bendera-opm-berkibar-di-papua.html

Kalau saja mendiang Gus Dur masih ada, barangkali ia akan menganggap bendera bulan bintang sebagai umbul-umbul. Tetapi, untuk memberikan legitimasi kepada bulan bintang sebagai bendera Aceh, tentu beliau akan berpikir panjang karena begitu legitimasi diberikan dalam bentuk tertulis, ia dapat menjadi amunisi baru untuk melawan Pemerintah. Karena pada hakikatnya, bulan bintang dan bintang kejora itu sama. Ia adalah bendera kultural, namun oleh para pembuatnya telah diberi predikat lain sebagai simbol kedaulatan, atau setidaknya ingin menunjukkan eksistensi sebuah kelompok yang (pernah) berjuang untuk mendirikan negara di dalam Negara (separatis).

Maka wajar kalau Pemerintah Pusat mengeluarkan peraturan yang tegas melarang pengibaran bendera separatisme di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia, yaitu PP No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pada pasal 6 (4) PP tersebut tertulis “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

 PP yang sama juga menyebutkan secara eksplisit OPM, GAM, dan RMS sebagai organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis.

Aspek formil dan materiil

Karo Hukum Kemendagri Arif Zudan Fakrullah pada 27 Maret 2013 di Jakarta mengatakan, Qanun No. 3 Tahun 2013 selain bertentangan dengan PP No. 77/2007, secara substansial tidak mengacu kepada Pasal 145 UU 32/2004, Pasal 37 PP 79/2005, dan Pasal 79 Permendagri 53/2011. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/27/mkaurv-kemendagri-qanun-bendera-gam-bisa-dibatalkan

Para politisi Aceh bersikukuh bahwa Qanun 3/2013 sudah sah dan telah terdaftar dalam Lembaran Daerah Aceh. Benar, secara formil (proses pembuatan) sudah sah. Namun sebuah peraturan yang mengikat rakyat tidak cukup hanya memenuhi aspek formilnya saja. Ia juga harus memenuhi syarat materiil, yaitu isi peraturannya harus ada kesesuaian dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi derajatnya. 

Dalam hirarkir aturan perundang-undangan RI, Peraturan Pemerintah lebih tinggi kedudukannya daripada Perda atau Qanun (lihat UU No.12 Tahun 2011 pasal 7 ayat 1). Jika secara materiil isi Perda bertentangan dengan PP, maka Perda harus dibatalkan. Prinsip ini berlaku tidak saja terhadap qanun No. 3 Tahun 2013 tetapi juga semua Perda di seluruh wilayah Indonesia.

Jadi, jelas sanksinya. Qanun No. 3/2013 harus DIBATALKAN. Jika para pembuat qanun ingin menyelamatkan produknya itu, maka simbol GAM  pada bendera yang diusulkan, HARUS DIUBAH. 

Itu saja kok repot…!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun