Mohon tunggu...
Sarjito Ir
Sarjito Ir Mohon Tunggu... -

volunteer NGO

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wajah Buruk DPR Aceh

18 April 2016   12:46 Diperbarui: 20 April 2016   09:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="suasana di DPR Aceh"][/caption]Sungguh menarik mengamati dinamika politik di Aceh saat ini. Lebih menarik lagi jika kita mengarahkan pandangan pada lembaga DPR Aceh (DPRA). Sepuluh bulan menjelang hari pencoblosan, (Pilkada serentak pada Februari 2017), lembaga wakil rakyat di ujung Barat Indonesia ini tengah menunjukkan wajah tak ramah.

Beberapa produk dari lembaga yang didominasi kader-kader Partai Aceh ini (29 kursi dari 81 kursi DPRA) serta perilaku politik sejumlah anggotanya dengan mudah dapat ditebak apa motif dan modusnya. Maka tak heran belakangan ini ia nyaris tak pernah sepi dari cercaan rakyat.  Cercaan tidak hanya datang dari masyarakat lokal   tetapi juga dari sejumlah tokoh masyarakat Aceh di perantauan, seperti di Medan dan lebih-lebih di Jakarta.

Setidaknya ada dua sebab mengapa lembaga DPR Aceh ini menjadi sasaran hujatan.

Pertama, Revisi Qanun Pilkada

Dinamika politik lokal Aceh memang tidak bergerak dari satu poros, tetapi manuver politik lokal yang paling menonjol saat ini berasal dan mengarah kepada poros yang sama. Yakni bagaimana memenangkan atau sebaliknya bagaimana mengalahkan Muzakir Manaf. Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem ini dan orang-orang di seputar kekuasaannya menjadi subyek sekaligus obyek berbagai manuver politik lokal. Ini lantaran Mualem memiliki power politik yang mumpuni. Ia adalah Wakil Gubernur Aceh dan juga Ketua Umum sebuah partai lokal (Partai Aceh/ PA) yang memiliki massa pendukung sangat banyak. Dengan 29 wakil di DPRA serta mendominasi sejumlah lembaga wakil rakyat di mayoritas kabupaten/kota (DPRK) di seluruh Aceh.

Saingan Mualem di Pilkada 2017 cukup berat, yaitu tokoh-tokoh Aceh yang juga memiliki basis pendukung dari kalangan eks kombatan GAM. Di antaranya adalah Irwandi Yusuf (mantan Gubernur Aceh 2007-2012), Zaini Abdullah (Gubernur Aceh saat ini), dan Zakaria Saman. Selain itu juga ada tokoh-tokoh Aceh lainnya yang tak kalah populer di mata Rakyat Aceh seperti Tarmizi A Karim, Ahmad Farhan Hamid, dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Mereka sudah menyatakan tekadnya untuk maju bertarung dalam panggung politik Pilgub 2017.

Dari deretan nama-nama itu, baru Irwandi Yusuf yang memiliki kendaraan politik sendiri, yaitu Partai Nasional Aceh (PNA). Irwandi juga mengklaim dirinya telah didukung oleh Partai Demokrat dan Partai Daulat Aceh. sementara kandidat-kandidat lainnya belum memiliki kendaraan politik yang jelas. Maka jalur independen menjadi pilihan terakhir mereka.

Muzakir pun bermanuver. Badan Legislatif (Banleg) di DPR Aceh mulai pekan lalu membahas Rancangan perubahan Qanun (Raqan) Pilkada yang diajukan oleh Pemerintah Aceh. Banleg lantas memperketat syarat calon independen. Calon harus melampirkan salinan KTP konstituen. Tidak hanya itu. Masing-masing konstituen wajib harus menandatangani surat pernyataan dukungan bermeterai cukup, mengetahui Keuchik (lurah). Dokumen ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam kelengkapan administrasi pendaftaran calon, persyaratan yang sebelumnya tidak ada dalam draf (Raqan) yang diajukan Gubernur Aceh maupun dalam Qanun No. 5  Tahun 2012 tentang Pilkada Aceh. 

Dengan persyaratan baru ini, langkah para calon gubernur Aceh dari jalur independen semakin sulit. Makanya, reaksi keras datang bertubi dengan berbagai tuduhan ke tubuh PA maupun DPRA. Diantaranya tudingan dari Ketua Forkab Aceh, Ahmad Yani bahwa PA pengecut.  Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh menuding elit politik Aceh sedang membuat kekacauan politik jelang Pilkada.

Irwandi dan Zaini Abdullah juga mengeluarkan sindiran keras kepada PA.

Irwandi mengkhawatirkan akan terjadi intimidasi terhadap warga Aceh. Karena produk Banleg DPRA yang dipimpin kader PA Iskandar Usman Al-Farlaky itu dalam implementasinya akan diketahui siapa mendukung siapa. Dengan menempelkan nama-nama pendukung kandidat tertentu di Kantor Desa, akan rawan terjadi intimidasi terhadap masyarkat, lebih-lebih masyarakat yang tinggal di pedesaan.

“...di Aceh tidak perlu diadakan Pilkada dan kita sepakati saja untuk menunjuk langsung Muzakir Manaf sebagai Gubernur Aceh, dan Partai Aceh sebagai satu-satunya partai yang berhak duduk dalam DPRA/DPRK,” tulis Irwandi di akun facebooknya, Rabu, 13 April 2016 pagi.

Sindiran Gubernur Zaini Abdullah pun tak kalah seru.

“...nggak usah lagi ada pilkada. Angkat saja Ketua Banleg DPRA sebagai Ketua Panitia Penunjukan Langsung (PL) Pilgub Aceh.” https://zonadamai.com/2016/04/16/ini-reaksi-gubernur-aceh-soal-syarat-calon-independen/

Nasib qanun hasil revisi ini dapat diprediksi bakal dtolak eksekutif karena kepentingan Zaini Abdullah (calon incumbent) dan calon-calon perorangan lainnya seakan dihambat.

Kedua, Qanun Bendera dan Lambang Aceh

Produk Perda yang satu ini sudah berusia hampir tiga tahun. Namun hingga hari ini Qanun No. 3 Tahun 2013 itu belum bisa diberlakukan karena belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. Hal prinsip yang ditolak Pemerintah Pusat adalah masih diakomodirnya simbol separatisme. Bendera yang ditetapkan dalam qanun itu dinilai sama dan sebangun dengan bendera GAM. Padahal MoU Helsinki yang diteken 15 Agustus 2005 pada poin 4.2 melarang pemunculan kembali simbol-simbol GAM.

Para pembuat qanun bersikeras bahwa bendera yang mereka usulkan sudah sah sesuai prosedur formal. Dan bahwa GAM sudah tidak ada lagi karena sudah dibubarkan sejak 2005. Tetapi Pemerintah menilai bendera itu memiliki persamaan ‘pada pokoknya atau secara keseluruhan’ dengan bendera gerakan separatis (GAM) yang secara eksplisit dilarang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Dengan demikian, Qanun ini kendati sudah memenuhi unsur formil (proses pembuatan peraturan) namun dipastikan tidak akan lolos uji materiil karena isinya bertentangan secara substantif dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Padahal, dalam proses penyusunan qanun itu, Pemerintah Aceh yang diwakili oleh Gubernur dan sejumlah perangkatnya sudah melakukan pertemuan konsultasi dengan Pemerintah Pusat (Kemendagri). Pertemuan yang digelar di Hotel Sultan Jakarta tgl 17 Desember 2012 itu dihadiri pula unsur dari DPR RI dan perwakilan juru runding (Jusuf Kalla dan Ahmad Farhan Hamid). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan menggunakan simbol bendera Kesultanan Aceh. Tetapi anehnya, bendera yang disahkan dalam Qanun, adalah bendera bulan bintang. (Lihat juga: https://flic.kr/p/FScVBq).

Kisruh di balik issu bendera ini dimanfaatkan secara lihai oleh elit politik Aceh, khususnya dari Partai Aceh untuk kepentingan Pilgub 2017. Mereka mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah agar Bendera Bulan Bintang segera dikibarkan di seluruh Aceh, walaupun belum mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. Sejumlah tokoh PA kembali mengangkat persoalan ini dalam rapat konsolidasi Fraksi PA se-Aceh di ruang rapat paripurna DPR Aceh, Selasa, 1 Maret 2016. http://portalsatu.com/berita/desak-eksekutif-anggota-dewan-kibarkan-bintang-bulan-di-ruang-rapat-paripurna-7430

Desakan itu patut diduga didomplengi kepentingan politik PA.  Mereka mau mengambil simpati masyarakat Aceh di satu pihak, tetapi di lain pihak mau memposisikan Zaini Abdullah head to head dengan Pemerintah Pusat. Namun Zaini Abdullah tak hilang akal. Dengan tegas ia menolak bulan bintang dikibarkan di wilayah kekuasaannya (Provinsi Aceh) sebelum ada keputusan dari Pemerintah Pusat.  

Kesal dengan sikap Gubernur Aceh, Tengku Zulkarnaini bin Hamzah (Tengku Ni) secara mengejutkan mengibarkan bulan bintang di Mekkah, Arab Saudi. Mantan panglima GAM ini memanfaatkan kesempatan ibadah umrohnya pada akhir Maret 2016 untuk menginternasionalisasikan isu bendera bulan bintang di Tanah Suci. Namun aksi konyolnya itu justru menuai hujatan. http://regional.kompas.com/read/2016/03/22/22530731/Mantan.Panglima.GAM.Kibarkan.Bendera.Bulan.Sabit-Bintang.di.Arab.Saudi?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Atas kecerobohan Tengku Ni ini, Zaini Abdullah atas nama rakyat Aceh terpaksa harus meminta maaf kepada Pemerintah Arab Saudi. Sementara DPRA sama sekali tak bergeming. Tak ada pernyataan yang mengecam Tengku Ni ataupun sebaliknya. Barangkali karena tak ada kecaman dari wakil rakyat di DPRA inilah, Tengku Ni merasa seakan mendapat angin. Ia kembali membuat ulah, dengan mengeluarkan kata-kata kotor yang menghina Presiden Jokowi. Penghinaan itu dilontarkannya di depan ratusan umat yang menghadiri acara Maulud Nabi di Aceh Utara pada tanggal 7 April 2016 lalu. https://www.youtube.com/watch?v=YQWLtgy6b4c

Saya sangat yakin Tengku Ni tidak sendirian. Ia adalah 'pion' yang digerakkan oleh kekuatan politik PA dan merupakan bagian dari strategi pemenangan kursi Aceh-1. Hanya waktu yang akan menjawab semuanya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun