Tulisanku kali ini terinspirasi dari pengalaman sederhana berupa menyikat gigi. Could it even be called as an experience? Hehe . . .
Pertanyaan ini membuatku membuka kamus Oxford yang ada di laptop-ku dan aku pun mengetikkan kata "experience". Aku mengambil salah satu definisi yang cocok untuk situasiku ini, "an event or occurrence which leaves an impression on someone". Ya, saat menyikat gigi tadi, aku merasakan suatu pengalaman yang berkesan. Sikat gigi yang kupakai belum ada 2 minggu. Saat awal kupakai, bulu sikat tersebut sangat kaku sehingga rasanya sakit, bahkan sampai melukai gusiku, walaupun aku menggosok gigi dengan pelan. Tapi saat tadi aku menggosok gigiku, aku cukup kaget karena sikat tersebut tidak sesakit sebelumnya. Pengalaman kecil ini sangatlah berkesan bagiku karena tiba-tiba mengingatkanku dengan sebuah idiom dalam Bahasa Mandarin yang baru kupelajari beberapa hari yang lalu, yaitu “wànshì kāitóu nán” (万事开头难), yang artinya “Everything is hard in the beginning”. Tidak ada hal yang langsung enak atau mudah saat pertama kali terjun di suatu bidang. Kesulitan dan ketidaknyamanan sebetulnya merupakan hal lumrah yang sering muncul saat pertama kali melakukan sesuatu yang baru ataupun berada pada suatu situasi yang baru. Sayangnya, seringkali proses ini langsung membuat langkah kita untuk menyelami suatu bidang terhenti karena kita lebih senang ada di comfort zone. Akibatnya, kita tidak bisa benar-benar memaksimalkan potensi kita karena sudah menyerah dulu. Kita pun jadi setengah-setengah, padahal seharusnya kita jadi ahli ("forte") di suatu bidang.
Salah satu pengalamanku adalah ketika aku harus melakukan banyak presentasi selama kuliah, bisa dibilang dalam setiap mata kuliah minimal aku harus melakukan satu kali presentasi. Public speaking betul-betul membuatku gugup. Aku memang bukan tipe orang yang aktif dan cenderung pendiam. Berbicara dalam kelompok kecil yang isinya tidak sampai 10 orang saja sering membuatku canggung, apalagi kalau harus bicara di depan teman-teman sekelas yang isinya lebih dari 30 orang. "Kenapa sih ngga bikin paper aja?!" adalah keluhan yang sering muncul dalam benakku ketika mendapatkan tugas presentasi dari dosen. Tapi karena tidak bisa menghindari tugas, mau tidak mau aku harus melakukan presentasi. Aku seringkali gugup dan bahkan dalam beberapa presentasi mataku sama sekali tidak berinteraksi dengan audiens dan hanya tertunduk membaca kertas yang sudah kusiapkan sebelumnya. Parahnya lagi saking gugupnya aku pernah sampai gemetaran. Aku yakin kalau itu adalah pemandangan yang lucu sekali, tapi mungkin teman-teman sekelasku merasa terlalu kasihan padaku sehingga tidak ada yang tertawa dan justru memandangiku dengan serius (padahal tadinya mereka sibuk sekali dengan urusan ataupun gadget-nya masing-masing dan tidak terlalu memperhatikanku). Aku mencoba berbagai cara untuk mengatasi kegugupanku itu. Sampai akhirnya aku mendengar kalau orang-orang yang sudah sering tampil di depan umum pun masih sering gugup saat akan tampil dan pengalaman mengajarkan mereka untuk mengelola kegugupan sehingga tidak lagi menghalangi mereka untuk tampil secara optimal. Sepertinya perlahan-lahan aku mulai memahami apa yang mereka maksud karena aku pun semakin lama semakin bisa mengelola kegugupanku (meski kadang masih gemetaran juga sih, hehe . . .) Kuncinya adalah harus punya persiapan dan banyak latihan untuk bicara di depan umum.
Kata orang bijak, "practice makes perfect". Tapi berdasarkan pengalaman (dan keenggananku untuk keluar dari comfort zone), rasanya aku selalu ingin menghindari tugas yang aku tidak sukai itu. Akibatnya, seringkali aku tidak benar-benar mempersiapkan presentasi itu dengan terus menunda untuk menguasai bahan dan berlatih sehingga saat presentasi tidak bisa benar-benar tampil maksimal. Kedengaran tidak logis ya, takut dan nggak bisa tapi kok bukannya latihan . . . Tapi memang kenyataannya itulah yang kurasakan. Penyelesaiannya, tentu saja dengan memaksa diri keluar dari comfort zone.
Untung (?) saja, presentasi adalah bagian dari tugas yang WAJIB kukerjakan. Kalau tidak wajib, aku pasti tidak akan pernah mau melakukannya. Meskipun masih jauh dari sempurna, sekarang performa presentasiku sudah lebih baik dari sebelumnya. Ketika aku merasa telah berhasil melakukan suatu presentasi, perasaan itu terus memotivasi dan menyemangatiku bahwa aku bisa melakukan presentasi dengan baik. Aku pun jadi tidak terlalu merasa enggan lagi untuk melakukan persiapan dan latihan presentasi.
Memang tidak ada sesuatu yang mudah pada awalnya. Tapi kalau sudah berhenti mencoba, potensi dan kemampuan kita tidak akan semakin berkembang, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H