Perkebunan sawit seperti yang berada di Jambi dan daerah lain, belum memiliki pengelohan limbah B3, yang tentu menjadi penghambat perolehan sertifikasi ISPO. Yang menjadi masalah, yakni tidak adanya buyer dan transportasi.Â
Untuk membawa limbah saja perlu mendapatkan ijin dari pemerintah, hal ini tentu saja membutuhkan biaya besar. Biaya akan bertambah besar bila dikirim ke Jakarta yang telah memiliki pengolahan limbah B3. Hal ini jugalah yang masuk dalam Deklarasi Gapki agar memicu pihak terkait untuk bergerak cepat.
Tidak mudah mengatasi limbah B3, tidak banyak pengusaha yang ingin bergerak di bidang ini karena resiko yang besar dan sulitnya mendapatkan sertifikasi. Pemerintah bukan belum mempunyai peraturan mengenai pengolahan limbah B3.Â
Namun, pemerintah perlu mencari cara bagaimana mendukung perusahaan swasta supaya berminat mengelola. Tidak hanya mendukung, tapi pemerintah juga harus memperbanyak perusahaan pengelolaan limbah B3.
Aspek lainnya yang dibahas adalah benih sawit yang membutuhkan politic assurance. Yang dimaksud ialah produsen benih harus meyakinkan publik atau konsumen bahwa produksi benihnya mempunyai mutu yang baik dan terjamin. Jaminan ini berasal dari produsen itu sendiri. Sebab benih tidak pernah bohong. Jika ternyata kualitasnya buruk, maka tidak laku di pasaran. Produsen mempunyai tanggung jawab atas hal ini.
Secara genetik, fisik, fisiologis, dan pathologis, kualitas benih bisa dilihat dari keempat hal ini. Dan tentu saja produsen memahaminya. Ditambah sistem mereka sendiri yang punya tahapan-tahapan terdiri dari kualitas sumber daya manusia, teknis standar, laboratorium, dan kualitas, seperti SNI. Sehingga produsen mensertifikasi produksinya oleh mereka sendiri. Sistem seperti ini dianggap baagus jika dikelola dengan baik.
Sertifikasi ISPO bertujuan agar mendapat kepercayaan kelapa sawit Indonesia di mata dunia. Yang tidak saja bicara mutu, tapi lebih menyeluruh, dari hulu ke hilir. Penjualan  sawit Indonesia di dunia saat ini sedang mengalami penurunan yang disebabkan politik dagang Eropa dan negara lain.Â
Namun, para perilaku sawit yang belum mendapatkan ISPO perlu intropeksi diri, begitu pula pemerintah. Anggaran audit perkebunan sawit pun memerlukan biaya yang tidak sedikit di setiap daerah. Bahkan masih ada koperasi yang membutuhkan pelatihan secara manejerial.
Menjalankan bisnis agar lancar memang tidak saja butuh modal besar, melainkan energi yang besar dan kesiapan pada berbagai sektor. Banyaknya faktor-faktor yang belum maksimal dan butuh perhatian penuh, semoga menjadi pemicu bagi pemerintah dan pelaku sawit lainnya.Â
Sehingga tidak hanya bicara soal keuntungan bisnis, tapi juga sumber daya manusia, humanity dan lingkungan. Pun, masih banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa sawit memiliki produk turunan yang banyak sekali. Sebab, Sawit adalah bisnis besar! Setiap tahunnya bisa memberikan pemasukan sebesar 300 juta trilyun kepada pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H