Seandainya  ia seorang wanita berwajah manis dan pernah menjadi sejarah dalam perjalanan hidup, apa yang akan Anda lakukan saat ia sedang sekarat? Anda mungkin saja memakai kacamata kuda karena masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Anda pun mungkin melakukan yang sebaliknya. Tapi, apa yang akan Anda lakukan terhadap pergulaan Nasional yang semakin lama tergeletak di tempat tidurnya?
Quo vadis ... quo vadis ... quo vadis ... berkali-kali diteriakkan, dibahas, dicari solusinya, namun ... "Dari tahun ke tahun, dulu sampai sekarang,  pergulaan Nasional tetap saja stagnan." Kalimat itu saya kutip dari Ir. Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementan, 2010 -- 2015. Saya lebih senang berbicara dengannya membahas perkebunan daripada perkembangan politik yang semakin kejam.
Tapi, perkebunan itu adalah salah satu istrinya politik. Apa pun bentuk di bumi ini yang menguntungkan dijadikan istri oleh politik. "Bagaimana gula mau maju semua punya  kepentingan," tutur Ir. Gamal Nasir.Â
Tidak salah bila orang sering bilang, "Sejarah berulang," meski dengan konten yang berbeda, tapi konteksnya sama. Zaman kerajaan pun  telah beralih menjadi zaman democrazy,  zaman demi zaman suami bernama Kekuasaan tidak pernah mati bahkan forever young persis vampire.
Setelah acara Quo Vadis Pergulaan Nasional, 16 Mei 2019, Gedung PIA, Kementerian Pertanian, saya kerap berada di antara tertawa dan menangis. Perkebunan, Â apa pun tanamannya, hampir semuanya bermasalah, yang menyebabkan petani menangis dan tak mampu berbuat apa-apa. Petani itu anak bumi, begitu pula dengan Anda semua, rakyat Indonesia.Â
"Apa sebenarnya yang diinginkan petani, mengapa kami tidak sejahtera?" terasa sekali  Dwi Irianto 'merintih' di balik suaranya yang lantang. Menurutnya pemerintah harus bertanya kepada para petani. Kebijakan pemerintah mengenai swasembada ketersediaan gula yang asalnya dari gula impor, membuat petani gula semakin tak berdaya.
Semakin tahun pendapatan mereka menurun, sebab HPP impor lebih rendah daripada HPP gula petani. Pemerintah tidak berpihak pada petani sebab HPP impor berada sekitar Rp.6,000 -- Rp.7,000 sehingga petani tidak bergairah. Ironisnya penyusunan HPP gula saat ini diputuskan oleh Kementerian Perdagangan dan menetapkan harga tebu Rp.51,000 per kwintal.
Jika harga tebu Rp.55,000, petani akan menerima laba kotor sebesar Rp.44,000,000,- Dan tentu ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan: biaya pengangkut rata-rata Rp15,000; untuk produksi 800 kwintal dibutuhkan pupuk dan biaya pengelolaan sebesar Rp.44,500,000. Maka petani hanya mendapatkan Rp3,500,000 per tahun, dan silahkan berhitung pendapatan petani gula per bulan ...
"Pemerintah harus bertanggung jawab membeli gula kami dengan angka HPP yang mendapatkan insentif untuk impor. Rekomendasi ijin impor harus ada dan harus membeli gula dari petani!" lanjutnya.