"Kok, ikut terpotong gajinya, apa tak dijamin oleh juraganmu mas?", Shirami terkejut, sambil menekan keras kaki suaminya.
"Itulah yang kami perdebatkan tadi, jelang isya' pun juga masih alot, kemudian kami teruskan di warung Mak Lah, depan lokasi proyek, hingga selarut ini suamimu baru sampe rumah, maaf", tambah Bakkar.
"Menurutku perlu sih seperti itu tadi apa namanya? Jaminan Sehat, tapi kalo dikurangi dari gajimu, trus piye kita sehari-hari mas? belum lagi, kemarin anakmu, si Lintang minta dibelikan HP kayak teman-temannya", tukas Shirami
"Maka itu, rembug dengan mandor dan kawan-kawan tadi pun masih belum ada hasil, sama berkeberatan dengan yang terucap olehmu barusan",
"Sebentar, Lintang minta HP, ya Allah..., sudah kau bilang ke dia seberapa besar kebutuhannya, kalo sekedar ikut-ikutan jaman, maaf suamimu masih belum bisa penuhi keinginan Lintang", Tambah si Bakkar sambil bediri dan nglepasin sarung.
Malam yang penuh hening, mereka berdua pun terdiam, waktu rehat tercuri oleh prosesi kehidupan dunia yang siapapun pasti menginginkan keluarga berkecukupan dan bisa memenuhi keinginan satu-satunya, Lintang.
"Aku mohon, kamu jelaskan prioritas kebutuhan sekarang, misal cari tempat les untuk dukung pendidikannya, itu dahulukan daripada HP, gimana?",Â
"Ya mas, maaf, coba esok aku kasih ngerti ke Lintang, mmmm.... Apa perlu diperlihatkan tempat kerja mas di proyek?, biar dia tahu betapa berat penuh juang hidupi dia dan mamaknya di rumah", usul Shirami.
"Halah, gak usah, asal kamu tahu, tanpa kamu bercerita, aku pun juga bercita demikian, senangkan keluarga, yang dimiliki teman-teman Lintang pasti bisa kita punya, butuh waktu, karena kerjaan kita tak sama dengan orang tua mereka, sabar ya istriku...", jelas Bakkar
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H