Menurut saya, maksud setiap gerakan tidak bisa sembarang di-justifikasi sebagai gerakan melanggar. Apalagi radikal. Tidak bisa! Yang perlu kita lihat adalah motif gerakan tersebut.Â
Dalam hidup ini kita tentu tidak lupa, bahwa ada yang namanya hukum sebab akibat. Individu atau kelompok memiliki (asbabun nuzul), alasan mengapa gerakan tersebut dilakukan. Hal tersebut jarang dicerna kebanyakan netizen.
Padahal, gerakan, ceramah tersebut dilakukan sebagai bentuk kritik, sebagai bentuk gerakan antisipasi. Meskipun, bagi sebagian orang khususnya dia dalam kekuasaan, itu merupakan cara yang cukup keras.
Terkait pertanyaan tersebut, saya memiliki pandangan dan penilaian sendiri. Benar, Islam memang mengandung nilai al-simulasi dan ashul. Tapi yang acap kali dilupakan para netizen (masyarakat awam, seperti saya), islam juga mengandung dan mengajarkan tentang penegakan hukum Tuhan. Salah satunya, menghindari, menjauhi dan bertentangan dengan kemungkaran.
Berbeda Namun Sama
Jika kita amati, setiap pemuka agama, tokoh, ulama memiliki gaya dan caranya masing-masing dalam menanggapi berbagai persoalan di negara. Sebut saja, Yang Mulia Maulana Habib Luthfi. Habibana menggunakan cara santai, menyatu dengan umat dengan ketenangan. Membimbing umat dengan sejuk. Selain Habib Luthfi, ada juga beberapa ulama dengan cara yang sama, seperti Gus Muafiq, Habib Seykh (Pangeran Solawat di Indonesia saat ini) dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga tampil dengan cara berbeda. Tampil dengan gaya ceramah dengan intonasi tinggi, mengkritik berbagai kebijakan pemerintah. Khususnya kebijakan yang dinilai meng-anak tirikan agama islam. Terlebih kebijakan yang dianggap berpotensi merusak nilai dan moral Islam. Sebut saja seperti Maulana Habib Rizieq, Habib Bahar, Habib Anis dan lainnya.
1+9 = 10
2+8 = 10
7+3 = 10
Berapapun angka yang dijumlahkan, hasilnya akan tetap 10. Begitulah perbedaan kedua jenis ulama tersebut. Setiap cara, ceramah, niatnya tidak ada yang lain, semua itu demi umat islam. Khususnya demi umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW.