Mohon tunggu...
Lia Puspitasari
Lia Puspitasari Mohon Tunggu... -

25, Jakarta,\r\nselalu berusaha menjadi lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Motor, Si Raja Jalanan

27 Mei 2011   07:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul lima teng kantor bubar. Hari itu hari Jumat dan saya pun bersiap-siap berangkat menempuh perjalanan pulang ke kampung halaman di sebuah kota pegunungan di Jawa Tengah. Dalam waktu satu jam saya sudah harus berada di agen bus antarkota antarpropinsi langganan saya. Saya pun putar otak, bagaimana caranya bisa menembus kemacetan jalanan ibukota dari kantor di jalan Kramat Raya ke kawasan Pulogadung. Saya hapal benar, jalan yang akan saya lalui ke sana pasti padat merayap, penuh dengan kendaraan berat. Apalagi ini jam pulang kantor. Belum lagi kondisi fisik jalannya sempit dan berdebu, sangat tidak ramah untuk para pengendara. Maka lupakanlah bus kota, tidak akan sampai tepat pada waktunya. Lupakan juga taksi, selain mahal nasibnya akan sama saja terhambat kemacetan. Lupakan juga bus Trans Jakarta, antriannya itu jelas akan membuang waktu. Di saat seperti ini pilihan paling pintar adalah ojek. Meskipun dengan bayangan resiko bermotor di jalanan Jakarta, saya hampiri juga sang tukang ojek.

Bismillahirahmanirrahim, setelah tawar menawar yang alot dan cukup mahal, berangkatlah segera saya dengan memasrahkan perjalanan pada si bapak. Pesan saya kepadanya: "hati-hati ya pak, pelan-pelan saja tidak perlu terburu-buru". Meskipun dia tahu pasti saya sedang terburu-buru. Maka mulailah kami meluncur, salip sana-sini, selip sana-sini. Begitu ada celah sedikit di antara dua mobil, si bapak dengan lincahnya bergerak tanpa takut menggores body mobil. Tak ada jarak aman sama sekali! Lantas masuk jalur cepat, keluar lagi untuk masuk jalur lambat, dan kemudian masuk jalur cepat lagi, tergantung jalur mana yang tingkat kepadatan kendaraannya rendah. Saat lampu merah, tak segan si bapak mencari tempat di barisan paling depan agar bisa segera tancap gas begitu lampu hijau menyala. Ketika motor atau mobil lain menghalangi, trotoar yang sudah sempit dan rusak pun tetap diterjang. Terkadang berebutan dengan motor-motor lain. Sesekali saya ulangi permintaan saya, pelan-pelan saja pak, tidak perlu terburu-buru. Selebihnya saya diam sambil menahan nafas. Repot juga kalau nanti terjadi kecelakaan karena ketidakhati-hatian kami atau pengendara lain. Di sekitar saya, lautan motor penglaju lain siap menguasai jalanan.

Inilah yang selalu saya prihatinkan dari pengendara motor. Setiap hari jutaan motor memenuhi jalan Jakarta, dan akan semakin bertambah. Bulan Mei tahun 2010 jumlah motor di Jakarta tercatat mencapai delapan juta unit (Tribunnews.com). Moda transportasi ini memang menjadi favorit bagi sebagian masyarakat, terutama yang berdomisili di dalam Jakarta atau kota-kota satelitnya karena murah, cepat dan fleksibel. Faktor lain juga karena motor dianggap lebih lincah menembus kemacetan. Namun terkadang pengendara motor lupa memperhatikan keselamatan. Baik untuk dirinya sendiri, pengendara lain maupun pejalan kaki. Serasa ingin selalu mendahului pengguna jalan yang lain. Ketika menyeberang jalan saya pribadi lebih takut pada motor ketimbang mobil. Pejalan kaki pun harus rela berhimpitan dengan lapak pedagang kaki lima di trotoar jikalau tak ingin terserempet motor.

Perilaku pengendara motor yang seperti itu harus segera diperbaiki. Etika berkendara mutlak diterapkan demi menghargai dan menjaga keselamatan kita dan pengguna jalan lain. Kita sama-sama ingin cepat sampai ke rumah, menemui keluarga tercinta. Oleh karena itu, jangan tukar nyawa kita dengan kekonyolan perilaku di jalan. Keselamatan tetaplah nomor satu, bersikaplah hati-hati dan waspada. Soal kemacetan, tidak usah menunggu pemerintah mengeluarkan kebijakan mumpuni untuk mengatasinya. Mulailah dari sendiri dulu, paling tidak dengan mematuhi peraturan lalu lintas.

Pada akhirnya macet pulalah yang membuat bus saya datang terlambat, dan saya harus menanti sangat lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun