Alvin Toffler seorang sosiolog dan futurolog Amerika, pernah meramalkan tentang peradapan manusia pada gelombang ketiga dalam bukunya The Future Shock "Third Wave" yang diterbitkan pada tahun 1980.  Dalam bukunya  " Third wave", Alfin Toffler meramalkan tentang gelombang ketiga peradapan manusia dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang massif yang akan merubah wajah ruang dan jarak dengan globalisasi.Â
Faktanya seperti yang telah kita saksikan sekarang ini adalah era revolusi industri 4.0 yang merubah kehidupan manusia dengan teknologi informasi, robot pintar, Â super komputer dan disrupsi. Â Era revolusi industri generasi keempat yang telah mendisrupsi sekian kemapanan, berbagai macam kebijakan, norma-norma lama yang dianggap telah usang.Â
Sehingga wajar apabila Alfin Toffler berpendapat bahwa literasi pada abad 21 bukan tentang melek aksara tetapi kemampuan untuk belajar dan  belajar kembali. Dimana kalau saya boleh menyimpulkan pesan yang disampaikan oleh Toffler adalah selalu membuat kita, siapapun diri kita untuk terus mengupdate diri, kompetensi untuk terus belajar, berkreasi dan berinovasi sehingga kebaruan adalah keabadian bagi kita.Â
Riset terbaru yang telah saya lakukan terkait tentang  apa yang membuat siswa tertarik untuk terus belajar,  yang saya lakukan secara kuantitatif dengan responden yaitu para pelajar. Mengatakan  bahwa minat dan ketertarikan belajar siswa  sebanyak 75 % ditentukan oleh cara mengajar guru. Selanjutnya faktor yang lain adalah materi/topik yang disampaikan sebanyak 20 % dan sisanya adalah buku pelajaran yang digunakan. Dari 70 responden yang ikut terlibat menjadi responden mengharapkan guru-guru mereka melakukan perubahan cara mengajar agar siswa senantiasa tertantang untuk terus belajar.
Pesan ini tentunya bagi saya bukan cuma omong kosong belaka, tetapi suara anak yang menghendaki agar guru-guru mereka kreatif ketika mengajar mereka. Berbagai metode dan media belajar harus terus dikembangkan oleh guru. Tuntutan belajar bukan hanya disematkan bagi pelajar tapi juga gurunya yang juga menjadi pembelajar sepanjang hayat seiring dengan perubahan jaman.Â
Guru sebaiknya mendisrupsi cara mengajarnya, tidak memakai cara-cara lama yang tentunya akan usang bagi anak didiknya mendatang. Bukan rahasia umum, bahwa pendidikan adalah bagian dari kontestasi politik, kurikulum yang dirancang oleh pemerintah juga politis, tetapi diantara sekian kontestasi yang ikut bergulat, mengintervensi wajah pendidikan kita, guru adalah garda depan, inspirator bagi anak didiknya. Guru harus punya keterpihakan yaitu memegang amanah transformasi pendidikan bagi anak didiknya.Â
Sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan kita telah berganti setidaknya 11 kali, bagi saya itu bagian dari dinamika masyarakat ketika perubahan adalah keabadian  maka pergantian kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Walaupun pergantian kurikulum acapkali didominasi oleh perubahan politik sehingga semakin menambah wajah buram pendidikan kita.
Ketika kita  semakin mempertanyakan quo vadis pendidikan kita, guru sebagai eksekutor kurikulum memiliki otonomi untuk menyuarakan kurikulum yang memiliki keterpihakan kepada kemanusiaan dan tantangan jaman.
Pendidikan untuk revolusi industri keempat, menuntut semua orang untuk terus belajar, berkreasi, berinovasi, berkolaborasi dan melintas batas. Untuk itu agar apa yang akan kita sampaikan tidak akan usang pada jamannya, untuk semua para pendidik, guru atau siapapun setialah kreatif, menjadi pribadi yang bukan hanya melek aksara yang rentan untuk ditipu daya, tetapi menguatkan lagi keinginan dan komitmen kita untuk terus belajar dan belajar lagi seperti yang telah disampaikan oleh Toffler.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H