Kisah Sebuah Kota di "leher" Burung Nuu WarÂ
Kan ku ingat slalu
Kan ku kenang slalu
Senja indah
Senja di Kaimana
...Senja di Kaimana
Dan kasihmu dara
Dalam jiwa
Hingga akhir masa
kan ku ingat senja di Kaimana...(Senja di Kaimana, Alfian)
Ketika kaki mulai menginjakkan di bumi Kaimana di Bandara Utarom, kesan awal yang saya miliki adalah bandara yang cukup lenggang jika di bandingkan dengan Bandara Domine Eduard Osok, di Sorong. Ketika mobil yang saya tumpangi mulai memasuki Kota Kaimana, dalam benak saya, kota ini adalah sebuah kota kecil yang terdiri dari 7 distrik. Sejarah awal, Kabupaten Kaimana merupakan daerah pemekaran sejak tahun 2002 yang memisahkan diri dari Kabupaten Fak-Fak. Â Sebagai kota baru, Kaimana begitu gencar membangun infrastruktur dimana hal itu terlihat dari begitu banyaknya toko-toko yang menjual bahan bangunan.
Walaupun masih dianggap sebagai kabupaten baru, tetapi nama Kaimana dalam putaran sejarah Indonesia telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, dan bahkan menjadi saksi akan sejarah pergolakan konflik perebutan Papua Barat antara Indonesia dengan Belanda pada tahun 1963.
Untuk kepentingan politis, Presiden Soekarno pernah memberi nama Nuu War sebagai Pulau Irian yang merupakan akronim dari "Ikut Republik Indonesia Anti Netherland". Posisi Kaimana tepat terletak di leher Pulau Papua yang bentuk pulaunya menyerupai Burung Cendrawasih. Bentang alam Kaimana adalah daerah teluk, rawa, hutan yang lebat, bukit, pegunungan dan hamparan pantai yang memanjang yang berhadapan dengan Laut Arafura, tempat dimana Pahlawan Yos Sudarso bersemayam.
Secara historis, Jalan Trikora merupakan jalan bersejarah yang memiliki kaitan yang cukup erat dengan perjuangan Trikora (Tiga Komando Rakyat). Bahkan di dekat Jalan Trikora kita akan menemukan Tugu Untea yang dibangun pada 1 Mei 1963, yang merupakan tonggak sejarah penyerahan kekuasaan atas Papua Barat antara Indonesia dengan Belanda.Â
Untea sendiri merupakan United Nation temporary executive authority sebuah badan khusus yang dibentuk oleh PBB yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda dengan Indonesia yang sama-sama memperebutkan dan mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah mereka.
Senja yang selama ini saya pahami sebagai semburat jingga di ufuk barat penanda pergantian siang menjadi malam ternyata pemahaman tentang senja tidak sesederhana itu. Bagi orang Kaimana, senja adalah penanda pergantian siang menuju malam dengan pendar warna jingga sempurna yang memenuhi bentang dan ujung langit di ufuk barat. Langit penuh dengan warna jingga dengan sisa matahari di batas cakrawala.Â
Tetapi sayangnya senja di Kaimana itu ada musimnya, menurut orang Kaimana. Pada musim-musim tertentu senja yang indah tidak akan muncul, senja di Kaimana muncul ketika siang hari hujan deras yang telah menyibak awan untuk menjadi warna jingga sempurna yang memenuhi langit dan batas cakrawala di ufuk barat. sehingga tidak berlebihan bila secara khusus, Alfian mengabadikan senja indah itu dengan sebuah lagu.Â
Ketika masih kecil, ketika mendengarkan tembang lawas ini imajinasi saya secara geografis tidak tahu dimana letak Kaimana. Nama kota ini sudah terdengar akrab di telinga saya gegara Alfian yang telah menasionalisasikan lagu hingga terkenal di seantero Indonesia. Konon katanya lagu ini sebenarnya punya kepentingan politis.
Presiden Soekarno secara khusus mengutus Alfian untuk mengunjungi Kaimana pada tahun 1963 dan mengabadikannya dalam sebuah lagu cinta karena dengan cinta dengan kita dapat merangkul kemanusiaan lebih baik agar orang Kaimana merasa menjadi bagian Indonesia dan bagi orang Indonesia lainnya merasa Kaimana sebagai bagian dari Indonesia. "Nasionalisasi" lewat lagu cinta memang efektif  untuk membuat "mereka" menjadi "kita".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI