Mohon tunggu...
Sari Oktafiana
Sari Oktafiana Mohon Tunggu... Guru - A mother of five kids who loves learning

Living in the earth with reason, vision, and missions...but I can't make everybody happy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menafsir Roro Mendut dari Perspektif HAM

3 Juni 2010   02:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

...Kan Kularikan kau ke pantai-pantai Merdeka …..(Dina Ariyani, Sutradara Roro Mendut Teatrikal Sekolah Ciputra Surabaya)

Roro Mendut, adalah sosok perempuan rampasan dari Adipati Pragola yang berasal dari daerah Pati untuk Tumenggung Wiroguno. Adipati Pragola yang kalah Perang dengan Kerajaan Mataram. Dia harus menyerahkan wilayah kekuasaannya berikut isinya (natural resources, perempuan-perempuannya) kepada penguasa baru yaitu kerajaan Mataram yang diwakilkan kepada Tumenggung Wiroguno. Cerita epos rakyat jawa yang konon kabarnya hidup di abad 17.

Cerita Roro mendut, yang menurutku emansipatoris juga mengilhami seorang sastrawan besar Indonesia, yaitu Romo Mangunwijaya untuk menuliskannya dalam novel sejarah trilogi Roro mendut, Genduk duku serta Lusi Lindri. Bagi yang belum membaca, novel ini cukup recommeded untuk dinikmati.

Apa yang menarik dari kisah Roro Mendut? Secara Analogis, diceritakan bahwa Roro Mendut adalah perempuan yang menarik, begitu  manis, cantik menarik hati lawan jenisnya, kenes, lincah, berkulit agak kegelapan sebagai ciri khas yang menandakan sebagai gadis pantai yang terbiasa bermain dengan dentuman ombak dan bermandikan cahaya matahari dikala siang, cahaya bintang dan bulan dikala malam.

Sebagai perempuan yang terbiasa hidup dengan pola pantai, atau daerah pesisir, bentang geografis cukup membentuk Roro mendut sebagai gadis yang bermental baja. Tidak takluk dan menyerah pada keadaan. Dalam benak saya, Character building dari Roro Mendut yang risk taker, principles, sangat dipengaruhi oleh posisi geografis. Seorang gadis yang terbiasa hidup merdeka, mengenyam kebebasan untuk right to live tiba-tiba terenggut oleh datangnya kekuasaan Tumenggung Wiroguno.

Apa salahnya menjadi cantik dan cerdas? jelas ini harusnya bukan kesalahan tetapi anugerah. Yang terjadi dalam Roro mendut yang cantik dan cerdas rupanya mendatangkan malapetaka bagi dirinya. Karena kecantikannya membuat Tumenggung Wiroguno bernafsu untuk menaklukkannya. Sebagai laki-laki yang berkuasa dan terbiasa "menaklukkan" perempuan merupakan suatu hinaan dan tamparan bagi Tumenggung Wiroguno ketika Roro mendut menolak Cintanya...

Roro mendut yang hatinya sudah tertambat kepada Pronocitro, menentukan pilihan hatinya untuk memperjuangkan cintanya diatas segalanya bahkan nyawa menjadi taruhan. Cinta dalam hal ini menjadi energi yang begitu kuat untuk mengalahkan nafsu-nafsu status sosial menjadi selir, kemapanan ekonomi berada dalam comfort zone walo sebagai selir di Istana serta perjuangan untuk memperjuangkan HAM diatas kekuasaan.

Sejarah yang menurutku masih bias gender ( Man Power ) menurutku harus dikritisi, Dikisahkan pula untuk melawan Tumenggung Wiroguno, Roro mendut mesti membayar upeti atas dirinya untuk memperjuangkan kebebasannya. Dalam sejarah, dikisahkan pula Roro mendut mesti berjualan rokok, dimana kertas lintingnya hasil jilatannya sehingga laris manis, banyak lelaki yang mengkonsumsi rokok produksi Roro mendut. Dalam hal ini Roro mendut dibenturkan nilai-nilai orang timur, bahwa rokok dan perempuan adalah sesuatu yang dianggap "negatif" tetapi apa yang telah dilakukan Roro mendut sebagai upaya perlawanan terhadap Penguasa yang kejam kurang begitu dilihat. Kurang Kontekstual dalam hal ini.

Dari perspektif saya, dalam menafsir kisah Roro mendut, dia adalah perempuan hebat di era yang masih begitu feodal, patriarki, dia adalah sang pendobrak.

Apa yang telah Roro mendut perjuangkan adalah hak-haknya sebagai manusia untuk dihargai dan diperlakukan secara adil terhormat dan manusiawi. The right to live, Free and equal, Free from Torture, Slavery dalam berbagai bentuknya...

Begitulah hikmah dari kisah Roro Mendut...

Surabaya, 3 June 2010

Cheers!

sari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun