Hal sama yang aku lakukan selama sepuluh tahun terakhir adalah lingkar rutinitas bangun pagi, memasak, mengantar anak ke sekolah, kemudian menghabiskan berjam-jam di depan tumpukan baju kotor, bekas makan tempat lalat bergosip hingga deretan resep menu yang harus dihafal hingga bisa menyatukan beberapa bahan makanan dan bumbu dalam satu piring.
Menjemukan. Aku mulai bosan. Apakah ada cara untuk membunuh bosan?
Dering ponsel membuatku mengayun langkah menuju kamar, meraih ponsel layar datar berwarna putih di atas meja rias.
"Halo, Gi. Apa kabar?" kataku segera setelah menekan simbol telepon berwarna hijau di layar.
"Na, sorry banget kalau gue ganggu. Lu harus tau. Ini penting. Penting banget. Mas Adit, Na!" Aku bisa merasakan kepanikan dari suara di seberang telepon.
"Kenapa, Gi? Ngomong yang jelas, please!"
"Nggak bisa ditelepon, Na. Gue WA. Oke? Gue kirim WA."
"Oke, oke."
Sesaat setelah sambungan telepon terputus, sebuah pesan di Whatsapp dari teman lamaku itu masuk. Beberapa foto yang diambilnya secara candid membuat rasa penasaranku meninggi. Jariku segera menyentuh foto untuk bisa mengunduhnya.
Pupil mataku membesar ketika foto itu terlihat. Aku lagi pura-pura selfie, Na. Keterangan yang tertulis di foto tersebut.
Tak butuh waktu lama, aku segera meraih handuk dan berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat membuat saraf tubuhku lebih relaks. Aku perlu hati yang tenang untuk menghadapi situasi ini.