***
[14/05 14:50] Kirana: Mas, lagi di mana? Bisa jemput si sulung? Aku lupa ada jadwal ketemu dokter hari ini. Titip si sulung ya Mas, maaf aku buru-buru.
Segera setelah tanda centang dua biru terlihat di aplikasi WhatsApp, kuayun langkah menuju Cafe tempatku bertemu dengan teman lama. Dari jarak sepuluh meter, aku bisa melihat lelaki berbaju batik itu ke luar dari Cafe dan buru-buru menekan gas laju mobilnya.
Temanku buru-buru menyambut ketika aku datang dengan membawa tas jinjing yang berada di piramida sosial tertinggi hadiah dari Papa. Tak lupa kacamata hitam lengkap dengan scarf yang kujadikan kerudung untuk menutup dada.
"Gue masih gemeteran, Na. Mereka nggak tau gue di sini. Kayaknya Mas Adit nggak ngenalin gue," temanku berkata dengan nyaris berbisik.
"Santai. Kamu nggak salah." Aku mengeluarkan cermin dari dalam tas. Memastikan penampilanku sempurna. Setelah sekian tahun, aku kembali memoles wajah dengan riasan lengkap dengan polesan merah terang di bibir.
"Udah, Lu udah cantik," kata perempuan di depanku.
Aku menyeringai. Perlahan kuayun langkah tegap menuju meja nomor 13 tempat perempuan muda duduk. Celana jeans highwaist menjadi pelengkap baju berbahan rajut model kerah tinggi yang sempurna menampilkan lekuk tubuhnya.
"Permisi, Kak. Boleh saya duduk di sini?" kataku sebelum mendaratkan tubuh di kursi busa.
Perempuan itu mengangguk. Aku duduk tepat di depannya. Tas jinjing seharga mobil itu kuletakkan tak jauh dari jangkauan.
Perempuan itu masih sibuk menatap ponselnya.