Mohon tunggu...
Mita Yulia H (Mita Yoo)
Mita Yulia H (Mita Yoo) Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Penulis fiksi, karya yang telah terbit antara lain KSB, R[a]indu, dan Semerah Cat Tumpah di Kanvasmu Bergabung dalam beberapa komunitas menulis dengan dua puluhan buku antologi cerpen dan puisi Lihat karya lainnya di Wattpad: @mita_yoo Dreame/Opinia/KBM/YouTube: Mita Yoo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mutiara dari Bibir Kering

13 Mei 2023   17:20 Diperbarui: 13 Mei 2023   17:22 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit mulai membias warna jingga. Pandangan gadis itu mengarah ke bawah kakinya. Sepasang sandal jepit yang sebelah sisinya dipasang peniti menjadi pelengkap daster rayon motif bunga-bunga yang melekat di tubuhnya.

Langkahnya terayun menyusuri jalan tanah merah yang retak karena hujan lama tak bertandang. Gadis itu memegangi kepalanya, tubuhnya terhuyung ketika meraih gagang pintu. Pelan, dia bersandar di sisi pintu, mengais kantung daster dan mengeluarkan kunci dari sana.

Tangannya mendorong pintu dengan sisa tenaga. Tubuh lelahnya segera rebah di atas dipan beralaskan tikar dari eceng gondok yang dianyam oleh kelompok wanita tani di desanya.

"Hari yang berat," katanya.

Dia duduk sejenak sebelum melangkahkan kaki menuju meja kayu di sudut ruangan. Meraih teko berisi air di sana, mengalirkannya dalam gelas belimbing hingga hampir terisi penuh. Air dalam gelas berpindah ke tenggorokannya dalam sekejap. Sedikit membasahi kulit bibirnya yang hampir mengelupas.

"Tapi ini bukan apa-apa. Bukan masalah yang bisa ditangisi berkali-kali. Mudah-mudahan aku nggak pindah kerja di tempat lain lagi." Dia meraih buku tulis di atas lemari dan mencoret deretan angka yang tertulis di sana.

Ini adalah bulan kedua dia berdiam di tempat dengan dinding saling menempel dengan pemilik lain. Gadis itu menyebutnya rumah, meski dindingnya penuh coretan, atapnya mampu menjadi pancuran air ketika hujan deras. Dia tetap memanggilnya rumah, tempat pulang dan menanggalkan segala lelah.

***

Tumpukan kain beraneka warna di depannya membuat gadis itu tersenyum. Di kepalanya terbayang nominal yang akan dia terima nanti sore.

'Semoga cukup untuk beli beras sama minyak,' hatinya berharap.

Tangannya menyalakan mesin jahit di depannya. Kakinya perlahan mulai bergerak di atas pedal. Mesin mulai berputar menyatukan sisi-sisi kain dengan benang berwarna senada warna kain. Sesekali gerakan kakinya berhenti, dengan gerakan tangan dia memutus benang dengan gunting kecil di sisi meja kerjanya. 

Waktu yang dihabiskannya di depan mesin itu melewati masa matahari di atas kepala hingga cahaya di langit mulai kemerahan. Segerombolan burung Cabak terbang ke sisi Barat ketika dia melipat potongan kain terakhir yang mampu diselesaikannya.

Rambutnya basah karena keringat. Jangan tanyakan bagaimana bajunya juga tak mampu lagi menyerap air dan garam hasil seksresi kulitnya.

Dia menghitung potongan kain yang selesai dijahit. Bibirnya berhenti bergumam tepat di angka dua belas.

'Alhamdulillah. Hasilnya lumayan,' hatinya mulai berbunga sebab sebuah harapan yang sengaja diam-diam dirapalkannya. Dia melangkahkan kaki menuju ruangan tempat lelaki yang perutnya penuh lemak dengan kumis tebal itu. Kipas dari anyaman bambu selalu bergerak, tak pernah lepas dari tangannya.

"Bos, ini hasil pekerjaan saya hari ini," katanya sambil menyerahkan kertas hasil hitungan pada lelaki itu.

Tangan kanan lelaki yang disebut Bos meraih kertas itu dengan cepat. Tubuh yang penuh lemak itu berdiri dari kursi malasnya, merogoh uang lecek dalam stoples plastik dan mengeluarkannya. Dua lembar uang kertas nominal dua puluh ribu dan pecahan lima ribuan yang sebelah sisinya ditempel lakban transparan berpindah ke tangan gadis itu.

"Bos, ini nggak salah?" Dia memandangi uang lecek di tangannya, lalu berpindah ke wajah Bos.

"Itu udah aku kasih bonus seribu, Jinan! Kalau kerja yang cepet dong, jadi bisa dapet lebih banyak. Udah sana pulang, udah mau magrib. Jangan sampai orang-orang nuduh aku memperbudak buruh sepertimu." Tangannya mengibas di udara. Kipas anyaman bambu di sisi lainnya kembali bergerak. Sama sekali tak menghiraukan wajah mendung gadis di depannya.

Langkah gontai gadis itu menyusuri sepanjang tanah merah berdebu. Air di sudut matanya mengalir tanpa bisa dibendung. Dia bahkan tak menghiraukan tatapan beberapa pasang mata yang terarah padanya. Kepalanya mendongak ke langit, cahaya jingga mulai bergeser terganti oleh hitam.

"Ya Allah. Bantu aku ikhlas. Bantu aku untuk menjadi lebih kuat menjalani takdir dari-Mu. Takdir yang entah akan menjadikanku siapa!"

#MY, 010523

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun