Orang-orang berebut masuk ke pintu bus di luar Terminal. Ayah menarik lenganku, mendorongku maju untuk mengambil tempat duduk yang tersisa di bagian belakang. Mas Hasan berdiri di belakang, Ibu dan Ayah berada di posisi dekat pintu bus. Terjepit.
Rasanya sesak. Aku tak bisa menceritakan bagaimana pemandangan yang aku lalui pada teman-teman. Di depan mataku hanya orang-orang berdiri dengan berbagai posisi. Bersedekap, tangan berpegang di kursi penumpang, memegang ponsel hingga kertas tiket bus di tangan. Aku tak ingat bagaimana kemudian aku terlelap dan membuka mata ketika bus melaju di antara hutan jati. Ah, masih ada pemandangan indah yang bisa kuceritakan pada teman-teman.
Laju bus terhenti di Kali Gadung, setelah Ayah berteriak "kiri" di antara deru mobil dan penumpang yang berdesakan. Aku susah payah untuk bangun dari kursi. Aku bahkan harus berteriak agar sopir bus menungguku benar-benar bisa turun dari bus.
"Capek Yah, aku sampai kesemutan," keluhku pada Ayah.
Mas Hasan menggendong tas ransel dan mulai berjalan sedangkan aku ingin duduk lebih lama untuk meluruskan kaki dan punggung.
"Nanti di rumah Mbah kan ada air mancur, Hana bisa mandi di sana," kata Ayah.
Aku kembali melangkah mengikuti Mas Hasan. Ayah menghentikan angkutan umum yang akan membawa kami menuju rumah Mbah Putri. Aku tak sabar. Rasanya ingin meminjam baling-baling bambu milik Doraemon agar bisa terbang untuk segera sampai di rumah Mbah Putri.
Ketika angkutan umum mulai melaju, Mas Hasan mulai meledek. "Gitu aja capek. Coba kalau suruh jalan-jalan. Pasti nggak capek," kalimat Mas Hasan membuat moodku semakin buruk. Tanganku refleks menepuk kencang bahunya.
'Untung enggak puasa!' kata batinku, puas.
*** bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H