Idulfitri di Rumah Mbah Putri (bagian 1)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Ramadan telah berlalu. Takbir bergema di seluruh penjuru desa. Harum pakaian baru memenuhi indera penciuman. Stoples-stoples plastik transparan penuh kacang bawang, kue kering isian selai nanas dan biji ketapang juga sempring --aku suka menempelkannya di lidah sebelum memakannya dalam sekali hap-- yang rasanya gurih.
Mas Hasan, lelaki yang menempati rahim sama denganku --hanya selisih waktu tujuh tahun-- telah mengganti baju koko berwarna putih, hiasan bordir keemasan di bagian dadanya dengan kaus oblong bersablon Billabong. Melihatku yang masih duduk di kursi dengan kacang bawang di genggaman membuatnya berdecak.
"Salaman dulu sama Ayah-Ibu, baru makan," katanya.
Aku meletakkan kembali kacang bawang dalam genggaman ke stoples, meraih tisu untuk membersihkan sisa bumbu kacang bawang yang menempel di tangan. Tubuh kecilku berdiri di samping Mas Hasan, mencium tangan Ibu dan Ayah bergantian.
"Kalau mau keluar, ganti baju dulu," kata Ibu persis Mas Hasan. Atau Mas Hasan yang menjiplak Ibu? Hahaha.
Aku hanya mengangguk lalu ke kamar untuk mengganti baju berwarna putih itu dengan rok jeans hampir menyentuh mata kaki dengan kaus lengan panjang bergambar Barbie. Tak lupa bando karet dengan mutiara sintetis menghiasi rambutku.
Aku meraih tas selempang yang tergantung di kapstok kamar. Lalu pamit pada Ibu dan Ayah untuk berjalan mengunjungi handaitolan bersama teman-teman.
***
Usai salat zuhur aku, Mas Hasan, Ayah dan Ibu pamit pada kakek dan nenek. Kami akan melakukan perjalanan ke kampung halaman Ayah di Jawa Tengah. Menumpangi bus PO Tiga Dara kami menempuh jalan darat sekitar dua jam menuju Terminal Cirebon.