Suara gerimis masih menemani, udara basah mulai mencipta gigil hingga aku harus menggosok telapak tangan beberapa kali. Kau terkekeh, aku menangkap momen itu melalui sudut mata.
Di sini dingin, berbeda dengan di pesisir tempatmu berasal, katamu. Aku hanya mengangguk pelan, sambil menarik tanganmu untuk kembali melangkah ke pembaringan.
Sesuai janjiku, aku akan bercerita malam ini. Katamu, kemudian menyelipkan anak rambutku di belakang telinga. Kau mulai menarikku ke rebah di sisi kirimu, bersama dengan kisah tentang Libra dan Orera di malam itu.
Kenapa namanya Libra dan Orera? Aku sungguh ingin tahu arti nama itu.
Tidak ada artinya. Aku memilih nama itu karena bagus, katamu. Lagi-lagi, kau berhasil membuat tawaku meledak seketika. Alasan sederhana, yang membuatmu selalu terlihat sekokoh karang di lautan.
Aku ingin menari bersamamu. Merendam kaki di pantai, mencari sisa-sisa cangkang kerang-kerang kecil atau Sargassum untuk jadi hiasan di herbarium tiga dimensi, katamu lagi.
Iya, aku tidak sabar untuk hal itu. Aku juga, katamu menimpali. Lalu bibirmu menyenandungkan Puisi yang mengantarku menuju alam mimpi. Mimpi tentang kita, yang selalu membuatku kembali terjaga.
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu
"Kapan kamu akan menyanyikan Puisi untukku lagi, Di?"
#MY, 210323
___ Selamat hari puisi sedunia. Nikmatilah diksi sederhana dengan sepenuh rasa. Karena keindahannya tak sekadar baris kata (Mita Yoo) ___
#worldpoetryday
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H