Hujan semalam mematahkan ranting-ranting pohon. Beberapa pot berisi batang bunga kertas yang kutanam, rebah. Aku melewati jalanan tergenang sisa air hujan, membuatku harus menahan laju sepeda agar tak terlalu kencang.
It's okay. Itu cuma air, bukan batu, katamu dengan tawa. Aku seharusnya marah ketika mendengar kalimat itu, tetapi kau berhasil membuatku ikut tertawa.
Kau mulai mencatat deretan angka dalam bukumu. Kebiasaan buruk yang selalu kau lakukan ketika duduk di ruang kelas. Aki hanya tertawa sambil mengamati tanganmu bergerak menuliskan deretan angka yang aku yakin mendapat nilai sempurna.
Kau keren, kataku yang seringkali gagal mengerti makna di balik deretan angka. Aku lebih menyukai hafalan daripada hitungan, sambungku kemudian.
Hibiscus rosa-sinensis, Carica papaya, Aurelia aurita, katamu lalu terkekeh.
Malus sylvetris dan Fragaria x ananassa kesukaanmu. Pandanganmu lalu menerawang, entah apa yang kau rasakan saat itu, karena aku tak bisa membaca matamu.
Kau mengeluarkan ponsel Nokia N-gage seri terbaru, menyambungkan headset ke port audionya.
"Kamu mau dengerin juga?" tanyamu, yang kuberi jawaban dengan anggukan kepala.
"Aku sudah belajar kunci gitarnya, kalau kamu mau nyanyi," katanya setelah lagu selesai diputar.
Kalau suatu hari kita menemui perpisahan, ingatlah saat pertama kali kita bertemu. Kalimat itu menjadi kalimat yang tak pernah aku mengerti maksudnya, sampai aku menemukan pesan yang kau kirimkan satu bulan kemudian.
#MY, 200323