Lelaki berwajah oriental itu menatapku. Kedua telapak tangannya menyatu, berjarak lima sentimeter di depan dagu. Dia membuat senyum dengan bibir pucatnya, membuat pupil matanya seolah tertutup.
"Kumohon, kali ini saja. Berikan aku obatnya, apa pun itu."
Aku mendesah. Tanganku terlipat di dada sedangkan otakku mulai berpikir.
"Ada resikonya, tentu saja."
"Apapun itu, aku siap. Aku merindukannya. Please," katanya lagi.
"Aku akan memberikan dosisnya sesuai kebutuhanmu. Hanya selama dua hari. Ingat, dua hari saja, tidak lebih. Lebih cepat kamu kembali, lebih baik," aku menasihati lelaki itu. Kali ini, benar-benar terserah padanya.
"Dengan atau tanpa obat itu, aku akan mati. Kalau itu resiko yang kamu maksud," dia berhenti sejenak sebelum meneruskan, "aku hanya berusaha untuk meninggalkan memori indah padanya."
"Baiklah, terserah kamu saja. Aku hanya tidak ingin hal buruk terjadi padamu," sahutku.
"Terima kasih, Mey. Aku yakin kamu akan menjadi dokter terbaik," katanya, masih dengan senyum di bibir pucat itu.
"Simpan saja doa itu untukmu sendiri," kataku dengan suara serak, lalu meninggalkan ruangan itu sebelum mataku semakin perih.