Mohon tunggu...
Mita Yulia H (Mita Yoo)
Mita Yulia H (Mita Yoo) Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Penulis fiksi, karya yang telah terbit antara lain KSB, R[a]indu, dan Semerah Cat Tumpah di Kanvasmu Bergabung dalam beberapa komunitas menulis dengan dua puluhan buku antologi cerpen dan puisi Lihat karya lainnya di Wattpad: @mita_yoo Dreame/Opinia/KBM/YouTube: Mita Yoo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matinya Pohon Kehidupan

6 Maret 2023   21:57 Diperbarui: 6 Maret 2023   22:23 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest/deviantart.com

Suara seseorang samar-samar menyentuh saraf pendengaran di telinga. Perlahan aku membuka mata, berkedip beberapa kali sebelum memaksa tubuh untuk duduk.

"Tuan, Tuan! Ada berita besar!" Seseorang membuka pintu kamar dengan sedikit dorongan. Suaranya terdengar semakin jelas. Namun, apa ini?

"Maksudmu, aku?" Aku mengarahkan jari telunjuk ke hidung.

"Siapa lagi, Tuan? Tuan adalah putra mahkota kerajaan dan berita besar ini disampaikan langsung oleh Raja. Tuan harus bergegas, atau saya akan dihukum karena melakukan kesalahan." Lelaki itu menarik lenganku, buru-buru aku melangkahkan kaki mengimbangi langkahnya.

Otakku sejenak berpikir. Tuan? Apa maksudnya? Aku 'kan perempuan.

Langkah kakiku terhenti ketika melihat  bale-bale versi luas itu. Orang-orang mengenakan pakaian seragam yang tak kutahu dari mana asalnya. Di mana ini? Siapa mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku.

"Tuan, Anda harus memberi pengumuman penting," kata lelaki dengan rambut perak dan topi Fedora itu.

Kostum yang aneh, sebagian diriku menertawakannya.

Seseorang memberikan gulungan kertas padaku. Aku meraihnya. Sebuah tulisan tangan dalam huruf yang aku tak tahu maknanya. Aku hanya pernah melihatnya di drama-drama kolosal. Di tengah pikiran itu, lidahku tiba-tiba berbicara sedangkan sebagian diriku yang lain masih terus berpikir.

"Sampaikan salam kepada penduduk bumi di tahun 2023. Krisis pangan mulai terjadi. Bencana banjir, gempa, membuat produktivitas pertanian menurun. Perang, krisis energi dan keuangan. Jangan lengah, apalagi hanya pasrah. Kerusakan semakin nyata. Kalian harus melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk menyelamatkan bumi. Kerusakan di depan mata. Kiamat segera tiba."

Bloop!

Aku berusaha menggerakkan tangan dan kaki. Air mulai naik sebatas dadaku. Tidak! Ada yang terjadi? Ini di mana lagi? Setelah sebelumnya aku berada di sebuah tempat asing, kini aku hampir tenggelam. Aku mengais ingatan terakhir, diriku sedang tertidur lelap di kamar, di atas kasur busa dengan beberapa jahitan kain perca.

Seseorang menarik tanganku, membawa diriku dalam dada bidangnya. Aku terbatuk-batuk. Tunggu, dia siapa?

"Syukurlah aku menemukanmu, Al. Maafkan perbuatan Ayahku. Aku minta maaf untuk kekejamannya membantai kerajaanmu. Aku minta maaf."

"Tu-tunggu. Kita di mana? Ini laut? Aku tidak bisa berenang," kataku sebelum kesadaranku lesap.

Saraf pembau di hidungku berhasil merespon aroma white tea yang berada di meja kayu tempatku berbaring. Lelaki itu tengah menuangkan teh dalam mangkuk porselen kecil. Ah, dia mirip dengan Dylan Wang.

"Kau baik-baik saja? Kita berhasil ke luar dari lubang hitam itu," katanya sambil menyodorkan teh ke arahku.

"Kam- maksudku, kau siapa?" Aku meneguk teh itu perlahan. Rasa hangat membuat tenggorokanku nyaman.

"Aruna Ace, tentu saja. Kau pikir saudaraku yang mencoba menipumu? Mereka hanya mirip denganku, tidak benar-benar sama." Dia meraih sebelah tanganku, memberi pijatan lembut di antara jari-jari tanganku.

Aruna Ace? Saudara? Menipu? Aku benar-benar tidak mengerti ucapannya.

"Pelan-pelan saja. Kau pasti masih syok karena pelarian kita. Kita berada di tempat aman. Kerajaan kita hancur, begitu juga pohon kehidupan," lanjutnya.

"Aku benar-benar bingung," aku berkata jujur.

"Jangan khawatir. Kita akan menuju tempat baru. Tempat di mana pohon kehidupan yang lain berada. Kita akan menyelamatkan manusia dari kepunahan."

"Tunggu, apa maksudmu? Manusia? Punah?" aku mencoba mencerna ucapannya.

"Kau tidak salah dengar. Manusia bisa punah pada akhirnya. Mereka saling membunuh, saling menyukai sesama jenisnya, mereka akhirnya hanya mementingkan hidup mereka sendiri. Tanpa keluarga."

"Oh, what the ..."

Ini pasti mimpi!

#MY, 060323

Sumber ilustrasi: https://id.pinterest.com/pin/27866091437751273/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun