Bloop!
Aku berusaha menggerakkan tangan dan kaki. Air mulai naik sebatas dadaku. Tidak! Ada yang terjadi? Ini di mana lagi? Setelah sebelumnya aku berada di sebuah tempat asing, kini aku hampir tenggelam. Aku mengais ingatan terakhir, diriku sedang tertidur lelap di kamar, di atas kasur busa dengan beberapa jahitan kain perca.
Seseorang menarik tanganku, membawa diriku dalam dada bidangnya. Aku terbatuk-batuk. Tunggu, dia siapa?
"Syukurlah aku menemukanmu, Al. Maafkan perbuatan Ayahku. Aku minta maaf untuk kekejamannya membantai kerajaanmu. Aku minta maaf."
"Tu-tunggu. Kita di mana? Ini laut? Aku tidak bisa berenang," kataku sebelum kesadaranku lesap.
Saraf pembau di hidungku berhasil merespon aroma white tea yang berada di meja kayu tempatku berbaring. Lelaki itu tengah menuangkan teh dalam mangkuk porselen kecil. Ah, dia mirip dengan Dylan Wang.
"Kau baik-baik saja? Kita berhasil ke luar dari lubang hitam itu," katanya sambil menyodorkan teh ke arahku.
"Kam- maksudku, kau siapa?" Aku meneguk teh itu perlahan. Rasa hangat membuat tenggorokanku nyaman.
"Aruna Ace, tentu saja. Kau pikir saudaraku yang mencoba menipumu? Mereka hanya mirip denganku, tidak benar-benar sama." Dia meraih sebelah tanganku, memberi pijatan lembut di antara jari-jari tanganku.
Aruna Ace? Saudara? Menipu? Aku benar-benar tidak mengerti ucapannya.
"Pelan-pelan saja. Kau pasti masih syok karena pelarian kita. Kita berada di tempat aman. Kerajaan kita hancur, begitu juga pohon kehidupan," lanjutnya.