Gadis bernama Jeha Alexandra itu melambaikan tangan ke arah Rein. Lelaki berkacamata itu tersenyum begitu pintu lift tertutup. Jeha berbalik hendak melangkah ke arah ruangannya seketika terhenti. Di depannya, Sheila sedang menggamit lengan Keenan sambil tertawa. Sebelah tangan Keenan terulur mengusap puncak kepala Sheila.
"Keenan? Kamu sama Sheila ..." Dia tidak meneruskan kalimatnya dan berbalik arah, melangkah buru-buru tanpa menoleh ke arah lelaki yang meneriakkan namanya berkali-kali itu. Langkahnya berhenti di ujung ruang penyimpanan, dia menyandarkan punggungnya di anak tangga darurat.
'Keenan sialan! Ternyata bener kata bocah itu. Dia bukan cowok baik. Dasar Jeha bego, bego, bego!'Â pikirannya memaki sedangkan air matanya luruh tanpa suara.
Di sisi lain, Rein yang sedang menyesap teh hijau tanpa gula dibuat terbelalak ketika melihat fotografer berambut panjang sebahu --Keenan-- celingukan sambil meneriakkan nama Sandra. Di belakang lelaki itu, Sheila mengekor sambil berusaha menahan langkah Keenan agar tak lebih jauh mencari gadis itu.
Akhirnya semesta berpihak padaku. Hitunganku selesai. Rein menyeringai. Dia meninggalkan teh yang belum habis itu lalu melangkah meninggalkan kafetaria, mencari keberadaan gadis itu.
***
"Ternyata kamu-di sini. Saya capek lari-lari-nyari kamu," katanya terputus-putus.
Lelaki berkacamata bulat itu duduk di samping Jeha yang buru-buru menyusut air mata dengan jari-jarinya. "Kok kamu masih di sini?"
Rein menyodorkan tisu ke arah gadis itu. "Makasih," katanya.
"Saya tadi lihat Keenan sama Sheila. Dia nyari kamu. Kalian ada masalah?" Rein pura-pura bersimpati.