***
Usai salat subuh berjamaah dengan keluarga bibi, aku memutuskan berlari-lari kecil di sekitar rumah sambil mengamati para tetangga yang datang belanja ke toko bibi. Satu gadis menarik perhatianku. Sambil memegang handuk kecil di leher, aku berlari kecil menghampirinya yang sedang menyiram tanaman seledri di dalam pot-pot berukuran sedang.
"Hai Dek, tanamannya cantik-cantik."
Ia hanya tersenyum dan mengangguk sopan. Sepertinya gombalan recehku tak bisa menembusnya.
"Dre! Pok dek mandi ok? Kate kelak e pegi ke Pasir Padi," ujar Paman yang membuatku tersenyum kikuk, lalu bergegas untuk mandi dan berkemas.
Aku memeriksa perlengkapan perjalanan. Ponsel, kamera, satu termos kopi hitam, dompet berisi uang tunai dan bekal makan siang yang dibuatkan oleh bibi.
Aku akan diantar oleh keponakan pamanku yang bernama Rendi. Ia yang akan memandu perjalanan sekaligus menyetir nanti.
Lelaki itu memiliki perawakan yang lebih kecil dariku. Hidungnya mancung, alis lebat dan lesung pipi, menjadi daya tariknya bagi kaum hawa. Kami berkenalan dan saling sapa.
Aku mencium tangan bibi dan paman sebelum pergi. Menutup pintu mobil dan melambaikan tangan pada mereka. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Musik mengalun dari pemutar lagu di handphone Rendi.
"Di Pasir Padi ada jembatan yang jadi mitos Bang," kata lelaki itu.
Aku menoleh, "Oh ya? Apa mitosnya?"