"Tunggu sebentar lagi. Aku akan bersiap-siap," tukas Weni.
Arman menggandeng anak lelaki itu masuk. Sedangkan Weni yang telah siap dengan pakaian terbaik dan makeup di wajah hanya tersenyum menggandeng tangan kecil anak lelaki itu, menuntun langkahnya masuk ke mobil Avanza hitam di depan rumah Weni.
***
Lelaki bersetelan tuksedo hitam turun dari mobil sports. Blitz kamera menyala sepanjang ayunan langkahnya. Weni dan Arman berdiri dari tempat duduknya, bertepuk tangan ketika menyaksikan lelaki muda itu memasuki area panggung.
"Terima kasih banyak untuk semua yang telah mendukung saya selama ini. Saya juga sangat berterima kasih khususnya pada ayah dan ibu tiri saya, karena telah banyak menginspirasi saya dalam menulis cerita. Â Tanpa campur tangan mereka, saya tidak akan bisa menulis cerita tentang anak panti asuhan yang harus berjuang keras untuk hidupnya sendiri dan bisa sukses."
Lelaki itu memberi jeda sejenak, "beri tepuk tangan untuk Bapak Arman dan Ibu Weni. Selamat! Kalian berhasil."
Seketika tepuk tangan dan sambutan meriah terdengar. Lelaki itu menyeringai.
'Bersiaplah untuk kejutan setelah ini,' batinnya.
Usai acara tersebut, lelaki bersetelan tuksedo hitam mengajak Weni dan Arman menaiki mobilnya. Weni dan Arman tak pernah mengetahui, jika luka di hati anak laki-laki yang mereka titipkan ke panti asuhan lima belas tahun lalu telah membuat hatinya mati.
#MY, 230921
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H