"Dion! Tolong kami, Dion!"
"Dion!"
Teriakan Weni dan Arman ketika sama sekali tak dihiraukan lelaki itu. Ia hanya menyaksikan kedua orang yang berjasa dalam hidupnya menikmati hari dalam sebuah rumah tua di tengah rimba. Lelaki itu tersenyum, sebelum menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam.
***
Lima Belas Tahun Lalu ...
"Dia bukan anakku!" keluh Arman sembari menyeka peluh di dahinya.
Weni tersenyum, tangannya mengikat rambut yang tergerai sampai ke pinggang. Bibir perempuan itu mencebik. Baginya sudah sangat jamak, lelaki mengeluhkan rumah tangganya yang tidak harmonis, tetapi sangat aneh jika mengeluhkan anak yang sudah empat tahun menyandang namanya sebagai bapak.
"Dimana istrimu?" tanya Weni.
"Dia pergi, dengan lelaki yang lebih sempurna. Aku hanya pegawai rendahan yang kurang bisa memenuhi kebutuhannya," sahut Arman lirih.
"Lalu Dion?"
"Karena itu aku kemari. Aku ingin meminta bantuanmu." Lelaki itu berbisik pada Weni.
"Tunggu sebentar lagi. Aku akan bersiap-siap," tukas Weni.
Arman menggandeng anak lelaki itu masuk. Sedangkan Weni yang telah siap dengan pakaian terbaik dan makeup di wajah hanya tersenyum menggandeng tangan kecil anak lelaki itu, menuntun langkahnya masuk ke mobil Avanza hitam di depan rumah Weni.
***
Bersambung ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H