Mohon tunggu...
Sariman Gembro
Sariman Gembro Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Seperti yang Dulu

29 Juli 2017   13:34 Diperbarui: 29 Juli 2017   13:46 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau dulu  ada lagu aku masih seperti yang dulu maka fisi visi lagu itu , seperti menyiratkan  betapa susahnya suatu perubahan. orang berubah itu nggak bisa belajar dari nol , mesti ada tunggak sejarah yang memmulai kapan sejarah itu dimualai, betapa sangat banyak  penulisan yang mengajak agar orang mau berubah, misalnya  berubah dari sikap yang buruk menuju perubahan yang baik, kalau dulunya orang itu suka menipu , membohongi , mencuri, memfitnah  , menggunting dalam lipatan , sebisa bisanya operbuatan itu diinsafi disadari dan tidak diulang-lagi. 

Apalagi kepribadian yang suka membolak balikkan kata  menggunting dalam lipatan , mengadu domba , dan menyembunyikan kejahatan lainnya secra konspirasi , sungguh itu suatu kejahatan tak termaafkan.pola orang dalam menghadapi berbgai permasalahan yang dihadapi tentu berbeda beda , ada yang secara detonatif dibahasakan secara vulgar dan ada yang konotatif dan tidak terbahasakan secra kasar. mungkin secara kasat mata tak semua orang  merasakan dampaknya , tetapi lama kelamaan namanya orang menyembunyikan bangkai , lama kelamaan akan tampak, semut di sebelah lautan tampak , sedangkan gajah dipelupuk mata tak tampak , begitulah  pepatah orang dalam melihat kesalahan orang lain.

Menghadapi perubahan yang drastis dalam problema kehidupan  tiap orang juga punya stile berbeda beda, ada yang mempermudah , ada yang mempersulit , kalau bisa dipermudah ngapain dipersulit,, terlebih bagi pejabat yang suka menyembunyikan kejahatan mereka selalu mencari kaambing hitam untuk membuang sial dan menjadi target kesalahan mereka , sebab yang dipikirkan bukan  makan apa ? melainkan akan makan siapa lagi besok , itu slogan pejabat kita.

Melihat kasus keluarga tak terkecuali masalah negara  dari bobot persoalannya bisa dinilai sama , artinya kedua duanya sama sama masalah yang harusnya dipecahkan , karena nggak ada masalah yang bisa pecah dengan sendirinya  dengan hanya dibiarkan,makin dibiarkan ya makin tambah permasalahannya, misalnya permasalahan utang , kalau  tidak dibayar ya sampai anak cucu tetep saja menjadi catatan Hutang , bisa menjadi dosa turunan , sejarah hutang. semua langkah langkah yang sudah dilakukan perorangan , beda dengan yang dilakukan dengan dinas Instansi, tetapi jelas kalau masalah instansi adalah masalah kenagaraan, dan penyelesaiannya  tidak bisa dalam satu koridor , banyak lorong dan pintu yang harus diterobos, kalau langkah langkah apapun sudah dilakukan kok masih saja menemui jalan buntu. 

Terkait kompensasi penyelesaian masalah yang berujung pada konflik bersama hurus juga diselesaikan dengan musyawarah bersama , nggak boleh menang menangan, bagaimana  bermain yang  cantik , halus dan politis sehinggga di permukaan tampak tidak ada masalah , seperti jalur mediasi , diskusi , silaturrahmi dan kekeluargaan.penyelesaian masalah setingkat kepala sekolah beda dengan kelapa dinas , beda  dengan cara penyelesaian masalah Bupati , semua ada  batas kewenangan dan pendelegasiannya , tidak boleh gebug rampak , lalu main eksekusi saja taanpa diskusi dan mediasi, ditimbang  kelebihan dan kekurangannya ,  diperhatikan anjuran dan saran serta pendapat masyarakat apakah tiap keputusan itu merugikan masyarakat atau tidak, mengikat atai tidak , sehingga pemegang kebijakan tidak asal ngawur bikin keputusan fatal yang merugikan banyak fihak. seorang kepala dinas  seharusnya bisa diajak komunikasi baik , menyampaikan program progranm kerjanya jkepada stakholder dibawahnya agar menjalankan tugasnya dengan baik , bukan kok malah menghindar kalau dtanyai pertanggung jawaban kerjanya oleh masyarakat , 

Pertanyaan masyarakat terkait kebijakannya malah dianggap teror . dengan adanya iklim keterbuakaan publik ini semua pejabat seharusnya membuka diri seluas luasnya  dalam percaturan sosial dan politik , menerima masukan dan kritik  masyarakat , sebab yang dilayani pegawai adalah masyarakat. masyarakat ingin dipertemukan dengan fihak fihak dan ditemui oleh  dinas kepala instansinya dengan baik, bukan asal main  tunjuk  saja tidak tahu tujuannya. 

Bagaimana mengatur anak buah , tentu berbeda dengan manajemen rumah tangga , sehingga haram kepala sekolah ataupun kepala dinas  turut campur memasuki wilayah rumah tangga orang laian kalau bukan urgensinya, maka dari itu kepada pejabat  diatasnya  kalau sekiranya banyak pelanggaran yang terjadi akibat adanya pelanggaran yang dilakukan anak buah , tiap  atasan harus mencermati latar belakang masalahnya , dan melakukan tanggap wacana sejak dini . 

Hak bertanya dan mengeluarkan pendapat itu dijamin UU pasal 28 UUD 1945 dan pendapat  harus diakomodir dan dijadikan pedoman pengambilan keputusan,sehingga  tiap keputusan final dapat dipertanyak bilamana ada kesalahan keputusan bisa ditinjau kembali ,terutama terkait pekerjaan dan terkait jabatan , sebab semua jabatan apapun harus dipertanggung jawabkan secara baik kepada atasannya. semoga himbauan dalam catatan ini menjadi pengetahuan bersama,/sandang sarwono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun