Mohon tunggu...
sariman
sariman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Atlet Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perjalanan Spiritualku Menuju Islam Sariman

31 Desember 2024   05:51 Diperbarui: 31 Desember 2024   05:54 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Namaku Sariman, seorang pemuda berusia 20 tahun yang berasal dari sebuah dusun di Desa Sokop, Kecamatan Rangsang Pesisir, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Desaku ini terletak di Pulau Rangsang, yang merupakan salah satu pulau terluar di bagian barat Indonesia. Aku juga merupakan bagian dari masyarakat Suku Akit, suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti dan sebagian Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Awalnya, suku kami belum mengenal agama, melainkan lebih kepada praktek animisme dan dinamisme. Namun seiring berjalannya waktu, agama Buddha, Kristen, hingga Islam pun datang kepada suku ini melalui penyebaran para misionaris, relawan kemanusiaan, juga tokoh agama dari daerah sekitar seperti Selatpanjang. Suku Akit menggunakan bahasa Melayu dialek Akit. Beberapa orang menyebutnya dengan bahasa Akit. Aku juga menggunakan bahasa Akit baik saat di rumah bersama keluarga, maupun saat bermain bersama teman.

Kegiatanku dahulu setiap hari dimulai sejak pagi. Sebelum pukul enam, aku sudah siap mengenakan seragam Sekolah Dasar. Sampai ada beberapa temanku yang memanggilku untuk mengajak bersama berjalan kaki ke sekolah kami. Jarak sekolah dari dusun kami cukup jauh bagi sebagian orang, yakni memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai di sana dengan berjalan kaki. Tapi bagi kami, biasa saja. Mungkin juga karena sudah terbiasa. SD di desa kami belum ada. Itulah sebabnya kami harus menempuh perjalanan yang cukup jauh ini demi menuntut ilmu hingga ke desa sebelah yang bernama Desa Tebun. Di SD kami ini, hanya aku dan beberapa temanku ini yang berasal dari Desa Sokop. Sementara yang lainnya adalah warga lokal Desa Tebun. Mereka sudah menganut agama Islam sementara kami belum pada saat itu. Namun sejak aku masuk kelas satu, aku sudah terbiasa menerima materi pelajaran Pendidikan Agama Islam di kelasku meskipun aku belum memeluk Islam. SD kami juga memiliki rutinitas keagamaan di setiap hari Jumat pagi. Semacam mengaji dan berdzikir bersama. Pada awalnya, kami tidak dipersilahkan untuk ikut serta. Namun sejak kelas empat, guru kami memperbolehkan kami untuk ikut duduk dalam kegiatan tersebut.

Sepulang sekolah, kami harus berjalan kaki kembali dengan durasi sekitar satu jam itu. Tiba di rumah sekitar pukul 13.00. Aku biasanya melakukan istirahat sejenak seperti makan dan tidur siang sebentar sebelum melanjutkan aktivitasku di dusun. Setelah kurasa badanku cukup kembali segar, aku lanjut membantu orang tuaku ke kebun untuk memangkas semak-semak belukar. Atau di waktu lain aku juga suka ikut bersama kakekku yang merupakan seorang nelayan mencari ikan ke laut. Saat hari menjelang sore, barulah aku bertemu teman-temanku untuk bermain bersama. Biasanya kami bermain petak umpet, memancing, atau bertualang menjelajah hutan sekitar tempat kami tinggal.

Kawasan tempatku tinggal memang masih merupakan kawasan terpencil yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Pusat kebutuhan rumah tangga, ekonomi, kesehatan, dan kebutuhan lainnya masih berpusat dan mengandalkan ke wilayah Ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti, yaitu Kota Selatpanjang. Akses transportasi menuju ke Selatpanjang pun masih sangat terbatas. Satu-satunya sarana transportasi yang biasa digunakan masyarakat untuk menuju ke Selatpanjang adalah dengan menggunakan perahu kayu. Aku biasanya mendatangi Kota Selatpanjang hanya sekali dalam kurun waktu sebulan bersama ibuku berbelanja dan melakukan aktivitas untuk memenuhi segala kebutuhan di sana. Untuk berangkat dan kembalinya pun tidak sembarang. Aku harus sudah siap sebelum matahari terbit dikarenakan perahu akan segera berangkat pada pukul 6 pagi. Begitupun ketika ingin kembali, aku harus sudah siap di perahu sebelum waktu menunjukkan pukul 12 siang. Apabila terlambat, berarti aku tidak bisa pulang di hari itu alias harus menunggu keesokan harinya dengan bermalam di daratan Selatpanjang yang terletak di Pulau Tebingtinggi.

Kehidupan beragama masyarakat Akit di tempatku dinilai masih kurang. agama formal masih kurang eksis di sana, tetapi kepercayaan suku Akit terhadap hal-hal gaib sudah ada sejak lama. Sejak usia dini aku sudah terbiasa dengan ritual-ritual budaya suku Akit yang berkembang dan selalu dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Di antara tradisi budaya suku akit yang berkaitan dengan hal kepercayaan adalah tradisi membakar kemenyan di setiap malam Jumat. Kami percaya bahwa dengan melakukan itu dapat mengusir roh-roh jahat dari rumah sang pemilik. Selain itu ada pula tradisi upacara adat yang dilaksanakan setiap akhir tahun, yang disebut sebagai kegiatan "berbenah kampung". Perayaan kegiatan ini diisi dengan pemberian sesajen ke tempat-tempat sakral yang dipercaya masyarakat. Selain itu juga dengan mengadakan acara di rumah Datuk (kepala suku) setempat. Selain itu, pada waktu tertentu juga diadakan ritual mandi di sebuah sumur yang dianggap sakral yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Selanjutnya, mengenai perayaan-perayaan lain yang kami lakukan. Karena kami tinggal di Riau, sebuah provinsi yang mayoritas penduduknya suku Melayu, banyak tradisi kami yang mirip dengan mereka. Tapi ada juga yang berbeda, karena sebagian besar suku Melayu beragama Islam, jadi budayanya pasti terpengaruh oleh Islam. Sedangkan kami masih percaya pada animisme dan dinamisme. Salah satu contohnya adalah perayaan Malam Tujuh Likur. Orang Melayu biasanya merayakannya untuk menyambut malam turunnya Al-Quran. Mereka menyalakan lampu, saling berkunjung, dan mengadakan kenduri setelah salat Tarawih. Kami juga merayakannya, tapi dengan sedikit perbedaan. Selain menyalakan lampu bersama-sama dan saling berkunjung (yang menurutku seperti lebaran bagi kami) kami juga meletakkan sesajen di tempat-tempat yang dianggap sakral.

Sekitar tahun 2016, dusun kami kedatangan para relawan dari lembaga amal Islam seperti Dompet Dhuafa dan Fitrah Madani. Kehadiran mereka sangat dinantikan oleh warga, termasuk aku. Selain menyalurkan bantuan, para relawan juga membangun sebuah masjid di dusun. Aku dan teman-teman sering menghabiskan waktu bersama mereka. Kami bermain, belajar, dan berbincang banyak hal. Interaksi yang intens ini membuatku semakin tertarik pada Islam. Aku bahkan diajak belajar mengaji Al-Quran. Ibuku selalu memperhatikan interaksiku dengan teman-teman muslim dan para relawan. Selain itu, aku juga sering mengikuti les tambahan di mana pemiliknya sering memutarkan lagu-lagu islami yang berisi doa-doa. Aku sampai hafal beberapa doa, termasuk doa untuk kedua orang tua. Pengalaman-pengalaman ini membuatku semakin dekat dengan Islam secara tidak sengaja.

Pada suatu Sabtu di tahun 2017, menjadi hari yang tak akan pernah kulupakan. Dengan penuh keberanian, aku menyampaikan keinginanku kepada Ibuku untuk memeluk agama Islam. Tak disangka, Ibuku memberikan izin kepadaku. Keesokan harinya, dengan hati yang berbunga-bunga, aku diantar Ibuku menuju Yayasan Fitrah Madani di Kota Selatpanjang. Sepanjang perjalanan menyusuri lautan Selat Malaka, rasa gelisah bercampur haru memenuhi dada. Setibanya di sana, aku melaksanakan prosesi menjadi seorang muslim. Setelahnya, aku kembali ke kampung halaman dengan membawa semangat baru. Aku pun bergabung dengan kelompok pengajian yang dibimbing oleh relawan Fitrah Madani. Alhamdulillah, keluarga dan teman-teman menyambut keputusanku dengan baik. Hanya Kakekku yang terlihat sedikit berbeda, namun beliau tidak menghalangiku.

Ibuku juga pernah ingin memeluk Islam, namun Kakek melarangnya. Meski begitu, aku tidak merasa kesepian dalam perjalanan spiritualku ini. Beberapa sepupu dan teman-teman juga telah memeluk Islam. Aku melihat bagaimana Islam perlahan tapi pasti masuk ke kampung kami. Kedatangan relawan, pembangunan masjid, dan kunjungan Ustadz Abdul Somad memiliki peran penting dalam perjalanan dakwah di kampungku. Tahun 2017 ini adalah masa-masa yang sangat berharga bagiku. Aku bersyukur atas hidayah yang Allah berikan.

Aku sebagai seorang mualaf di daerah pelosok dengan minoritas Muslim, merasakan perjalanan spiritualku penuh tantangan. Salah satu rintangan terbesar adalah mempelajari Al-Quran. Huruf-huruf Arab yang asing bagiku membuat proses belajar terasa berat. Bersama teman-teman, kami belajar di sekitar masjid, dibantu oleh beberapa relawan yang terbatas jumlahnya. Meski begitu, semangatku untuk belajar tidak pernah padam. Lambat laun, aku mulai lancar membaca Iqro.

Di akhir tahun 2017, aku mendapatkan kabar gembira. Ada sebuah sekolah Islam berasrama gratis di Bogor, yang dikelola oleh BAZNAS RI bernama Sekolah Cendekia BAZNAS menawarkan kesempatan emas untukku. Awalnya, aku ragu untuk meninggalkan kampung halaman. Namun, setelah berdiskusi dengan orang tuaku, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti seleksi. Proses seleksi cukup panjang, mulai dari tes akademik, psikotes, hingga tes membaca Al-Quran. Saat tes membaca Al-Quran, aku merasa sangat gugup karena belum lancar. Namun, berkat motivasi yang kuat, aku berhasil lolos ke tahap selanjutnya, yaitu survei rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun