Mohon tunggu...
Sarifisha
Sarifisha Mohon Tunggu... Lainnya - @sarifisha.svz

Nothing is impossible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Palestina yang Tak Berpihak

5 Desember 2020   07:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   17:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, 2004

     Fazea El Shandy namanya, orang-orang memanggilnya Fazea. Sosok yang ramah dan baik hati. Anak sulung dari dua bersaudara ini memiliki badan tinggi, berkulit putih, dan bermata sipit. Adik pertamanya bernama Sauveza, sedangkan adik keduanya bernama Haidar. Faeza adalah anak orang berada. Apapun yang menjadi keinginan Faeza pasti terkabul. Ayahnya seorang pemilik perusahaan ternama di Pulau Jawa, sedangkan bundanya perawat di salah satu rumah sakit di kotanya. Meskipun demikian, Fazea tidak sombong dan mau membantu orang lain.

     Hari ini Fazea mulai melangkahkan kaki menuju sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Mentari bersinar cerah diiringi kicauan burung menemani Fazea di sepanjang jalan. Sudah menjadi kebiasaan Fazea berangkat sekolah dengan jalan kaki. Ia berpendapat bahwa berjalan kaki ke sekolah merupakan kebiasaan yang menyehatkan. Tak henti-hentinya ia menebar senyum kepada setiap orang yang ia temui. Bola matanya ke sana kemari melihat pemandangan di kanan kirinya. Hingga ia tiba di sekolah dan menghampiri ruang yang tertempel papan kayu di atas pintu bertuliskan XII MIPA 2.

     Teman-teman sangat kaget melihat Fazea berdiri di depan pintu kelas. Sudah lima Minggu Fazea tidak masuk sekolah karena ia harus rawat inap di rumah sakit. Fazea menderita penyakit kronis yang lumayan sulit untuk disembuhkan. Ia juga sering pingsan sebelumnya. Meskipun begitu, ia tetap semangat dan yakin untuk mewujudkan impian mulianya. Fazea bercita-cita menjadi dokter yang harapannya bisa dikirim ke Palestina sebagai relawan kesehatan. Ia ingin membantu penduduk Palestina di Gaza yang diserang oleh tentara Israel terutama anak-anak kecil. Mulia bukan cita-citanya? Ya, Fazea adalah anak yang rajin dan pintar. Jadi, tak heran jika ia selalu menjadi bintang kelas.

     "Hai Fazea, akhirnya kami bisa belajar lagi sama kamu, senang rasanya." Kata Lulu. "Hai Lulu," jawab Fazea. Ririn, teman dekat Fazea yang saat itu duduk di bangku paling depan memancarkan senyum lembut untuk Fazea. Fazea membalasnya dan melangkahkan kaki menuju kursi kosong di sebelah Ririn. Seluruh anak kelas menyambut kedatangan Fazea dengan gembira. Beberapa menit kemudian, Bu Risya, wali kelas XII MIPA 2, datang memasuki kelas tersebut.

     "Selamat pagi anak-anak, bagaimana abar kalian  hari ini?" Sapa Bu Risya ramah.

     "Pagi Bu," balas seisi kelas semangat termasuk Fazea. 

     "Alhamdulillah, Fazea sudah masuk kembali, selamat belajar kembali Fazea." Sapa Bu Risya untuk Fazea. Fazea hanya membalas dengan senyuman.

                                                     ***

     "Assalamu'alaikum Bunda, Fazea pulang!" Sapa Fazea membuka pintu rumahnya. Bunda yang saat itu sedang memasak tidak sempat menyambut anak sulungnya pulang sekolah. Seperti biasa, Fazea langsung menuju kamar dan ganti baju. Lalu, ia membuka buku pelajaran dan mengulang apa yang telah didapatkan di sekolah tadi. Berhari-hari Fazea berusaha keras untuk mimpi mulianya. Ia juga semangat dalam mengejar ketertinggalannya karena sempat izin lima Minggu. 

     "Tok...tok...tok...terdengar ketukan pintu kamar Fazea. "Masuk Bun," kata Fazea. Ia sudah hafal kalau itu adalah bunda. Bunda membawakan susu dan buah untuk Fazea. Bunda sangat menjaga kesehatan Fazea dengan memberinya gizi yang cukup. Bunda hanya berharap Fazea segera pulih kembali. "Nak, istirahat dulu, jangan dipaksakan. Fazea kan sedang dalam masa pemulihan, jadi jangan terlalu capek." Nasihat bunda untuk Fazea. "Enggak kok Bun, Fazea baik-baik saja," kata Fazea yang sedang asyik dengan bukunya. 

     Tanpa mengenal tempat dan waktu, di manapun dan kapanpun, Fazea selalu berkutat dengan buku-bukunya. Ia membulatkan tekad mewujudkan impiannya. Ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri sebelum menyandang gelar dokter. Fazea selalu mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Ia hanya ingin melihat ayah dan bunda bahagia dengan kesuksesannya nanti. Fazea juga berpikir bahwa ia harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Ayah dan bunda yang melihat Fazea seperti itu khawatir ia akan drop.

      Tujuh bulan sudah terlewati, telinga Fazea mendengar kabar bahwa universitas di Paris yang menjadi harapan Fazea sudah membuka beasiswa pendaftaran mahasiswa baru. Fazea sangat senang mendengarnya. Awalnya Fazea ragu karena kondisi tubuhnya. Lalu, Fazea membuka kembali buku berwarna biru yang tersimpan rapi di rak. Buku ini tak asing lagi bagi Fazea, berisi impian besar Fazea untuk melanjutkan sekolah ke Paris dan mimpi mulianya untuk Palestina. Dengan optimis Fazea mendaftarkan diri di fakultas kedokteran. Ayah dan bunda selalu mendukungnya selama itu yang terbaik untuk Fazea.

     Tertulis di kartu pendaftarannya, -Fazea El Shandy1784- yang artinya Fazea mendapatkan nomor urut 1784. Jumlah yang sangat banyak menurut Fazea. "Aku harus bisa, Fazea bukan orang lemah, buktikan kalau kamu bisa Fazea!" Gumamnya dalam hati. Fazea harus melakukan tes dua minggu lagi, waktu yang cukup singkat untuk Fazea untuk mempersiapkan semuanya. Hampir setiap malam Fazea tidak tidur. Hanya buku yang menjadi temannya. Di samping usahanya itu, Fazea tak lupa berdoa agar semuanya dipermudah. Ia lawan rasa kantuknya demi mimpi. Hari demi hari ia lewati sampai datang hari yang menurut Fazea sangat menakutkan.

     Pagi ini Fazea ditemani ayah, bunda, dan kedua adiknya. Mentari menyambut Fazea riang. "Semangat Kak," Haidar memberi semangat. "Kak Fazea pasti bisa!" Sambung Sauveza. "Siap bos-bosku," jawab Fazea dengan nada optimis. "Nak, hati-hati ya mengerjakan soalnya, doa bunda selalu menyertaimu," suara bunda lembut. "Iya Bun, Fazea pamit masuk ruangan dulu ya Yah, Bun," jawabnya.

     Di dalam ruangan, pengawas menyapa peserta yang hadir dan membagikan soal ujian. "Perhatian! Peserta diperbolehkan mengerjakan soal setelah tanda bel berbunyi, tolong diperhatikan petunjuk-petunjuk pengerjaan soalnya," pengawas menerangkan kepada seluruh peserta. Sepuluh menit kemudian, teng...teng...teng... Bel berbunyi, tanda soal sudah bisa dikerjakan. Fazea yang duduk di pojok kanan depan awalnya gugup melihat tumpukan soal di hadapannya. Fazea menghabiskan waktu lima belas menit untuk menenangkan dirinya, ia terus berdoa dan selalu mengingat buku biru miliknya. Setelah itu, Fazea mulai bergerak mengerjakan soalnya. Ia berusaha semaksimal mungkin, ia tuliskan semua jawaban yang ia dapatkan selama ini. Teng...teng...teng..., Tiba-tiba bel berbunyi. "Waktu tinggal lima menit," kata pengawas. Saat itu ada dua soal yang belum terjawab, Fazea sangat gugup dan terus berusaha memberikan jawaban terbaik untuk kedua soal tersebut. Tanpa ia sadari, bel berbunyi lagi. Tanda waktu telah usai. Fazea lega karena telah mengerjakan semua soal yang tersedia. Fazea hanya bisa pasrah dan berharap. Ia yakin usaha yang selama ini dilakukan tak akan berkhianat. Kemudian, ia keluar ruangan dan disambut riang oleh keluarganya. 

    Singkat cerita, Fazea lolos seleksi dan dinyatakan sebagai mahasiswa universitas di Paris. Dari 3700 peserta, Fazea masuk tujuh puluh peserta yang lolos. Pengorbanan yang selama ini Fazea lakukan terbayar sudah. Ayah dan bunda sangat bangga, begitu pula bapak ibu guru Fazea. Bunda yang saat itu duduk di samping Fazea mengeluarkan air mata haru. Awalnya bunda berat ingin melepas Fazea sendirian di negara lain. "Nak, nanti kalau Fazea sudah berangkat, jaga diri baik-baik ya, pesan bunda jaga kesehatan dan teratur minum obatnya," Suara bunda lembut. " Iya Bun," Fazea tak mampu lagi membendung air matanya.

                                                         ***

Paris, November 2006

     Fazea menyapa Kota Paris dengan koper dongkernya yang setia menemani. Ia menikmati pemandangan Kota Paris dan butiran salju yang turun dari langit. Jaket tebal yang melekat pada tubuh Fazea dan syal di lehernya membuatnya merasa hangat. Ditambah secangkir teh panas yang siap menjadi teman ngobrol kali ini. Sesekali ia menatap langit Kota Paris, " Palestina, tunggu aku di sana, aku akan ada untukmu tujuh tahun nanti," gumamnya dalam hati. Ia masuk ke kamar dan mengambil buku biru yang ia bawa dari Indonesia. Ia buka kembali impian-impian yang ia tulis dua tahun lalu. "Biarkan tulisan di dalam buku ini dan langit Kota Paris menjadi saksiku menggapai mimpi," katanya dalam hati. Lalu, ia mengambil pena dan menambahkan tulisan singkat di lembar paling belakang. "Ayah dan bunda, sekarang Fazea sudah di Paris, mimpi Fazea untuk belajar di Paris terealisasikan. Tentunya semua ini tidak lepas dari doa dan support ayah bunda. Masih ada satu impian besar Fazea untuk Palestina yang harus kuwujudkan. Aku harap tujuh tahun kemudian, aku bisa mewujudkannya. Terima kasih ayah, bunda. Sehat selalu di Indonesia. Salam Fazea."

      Pagi ini langit sangat cerah, kulangkahkan kaki menuju kampus impian. Rasanya senang sekali. Ya, hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Kusapa bangunan di hadapanku dan kuucapkan terimakasih karena telah menerimaku menjadi bagiannya. Banyak teman yang kutemui dari berbagai negara. Kami saling berkenalan. Kegiatan kuliah hari ini hanya memperkenalkan diri dan mempresentasikan negara asal. "Hi, my name is Fazea El Shandy. You can call me Fazea. I am from Indonesia." Aku mulai menceritakan Indonesia panjang lebar kepada teman-teman baruku dengan bahasa Inggris yang kubisa. 

     Enam bulan kemudian, aku mulai disibukkan dengan berbagai tugas kampus hingga terkadang aku lupa minum obat. Akhir-akhir ini kondisiku melemah. Aku sering tidur larut atau bahkan tidak tidur mempersiapkan tugas esok. Rasanya lelah sekali, ingin nyerah. Tapi aku selalu ingat, ada ayah bunda yang harus kubahagiakan,ditambah impianku untuk Palestina. Tidak mungkin aku nyerah semudah itu. 

     Ponselku berdering, kuangkat dan kuucapkan salam untuk sosok spesial yang sangat mengharapkan kesuksesan ku, yaitu Bunda. Dalam percakapan itu, bunda berpesan untuk selalu menjaga kesehatan dan minum obat teratur. Ternyata keberadaanku di sini membuat ayah dan bunda khawatir akan kesehatanku. Setelah telepon kututup, kulihat cairan merah dibajuku. Darah keluar dari hidungku, aku mimisan. Tubuhku benar-benar lemas. Tidak mungkin aku mengabari keadaanku ini untuk ayah dan bunda, yang ada mereka malah kepikiran. Sebisa mungkin aku mengurus diriku baik-baik. 

     Sudah dua tahun aku di Paris, menghabiskan waktu bersama buku-buku demi mimpi. Tak sempat lagi aku bermain-main seperti dulu. Tubuhku semakin kurus dan berulang kali aku masuk rumah sakit. Semua itu kurahasiakan dari bunda. Aku hanya ingin tidak membebani mereka. "Ada Palestina menungguku. Aku harus kuat," kataku dalam hati. Sebenarnya aku sangat ingin pulang ke Indonesia. Aku rindu canda Haidar dan Sauveza. Aku rindu pula nasihat-nasihat ayah bunda. Pipiku basah, air mata mengalir dan tak dapat lagi kubendung. Selama ini aku hanya bisa melihat senyum mereka melalui foto. 

     Hari adalah tahun keempat aku di Paris. Rasanya senang bisa bertahan, ditambah nilaiku yang selalu di atas standar. Aku selalu berusaha semaksimal mungkin, tak peduli kondisi tubuhku seperti apa. Sudah empat tahun aku di sini. Bulan depan, ada janji suci yang harus Fazea ikrarkan bersama lelaki mempelainya diusianya yang ke-24 tahun.

     Dua jam lagi Fazea harus sudah di bandara karena pesawat akan membawanya menuju tanah kelahirannya. Fazea sangat senang, sebentar lagi ia akan bertemu dengan keluarganya. Beribu syukur ia ucapkan atas nikmat yang diberikan. Tak perlu lama ia menunggu, pesawat yang akan membawanya pulang ke Indonesia sudah siap.

Indonesia, 2010

     Ternyata di depan rumah sudah ada ayah, bunda , Sauveza, Haidar, dan lelaki berkoko putih menunggu kedatangan Fazea. Bunda langsung memeluk tubuh anak sulungnya erat, disusul kedua adiknya dan ayah yang kin usianya menua. Senyum Fazea mengembang saat matanya menatap lelaki di depannya.

    Sempurna sudah, hanya kesenangan yang Fazea rasakan saat ini. Dua bulan berlalu, Fazea harus kembali ke Paris melanjutkan pendidikannya. Masih tiga tahun lagi Fazea harus menyelesaikan sekolahnya. Kini Fazea mempunyai pendamping hidup yang akan memberinya semangat nanti, meskipun melalui ponsel. Fazea diantar ke bandara dan siap terbang ke Paris.

Paris, 2010

     Seperti biasa, Fazea melangkah menuju kampusnya. Kesibukan kembali menyapa Fazea di akhir-akhir semesternya. Banyak rintangan yang dihadapinya. Semakin hari tubuh Fazea semakin kurus, semangat Fazea juga turun. Lagi-lagi ponsel berdering, tertulis pesan dari lelaki penyabar di Indonesia, " jaga kesehatan ya, jangan lupa minum obat, nanti kita ke Palestina bareng." Seketika semangatku bangkit lagi. Walaupun kami berjauhan, kami akan selalu bersama.

    Bulan demi bulan kulalui hingga berganti tahun. Kujalani hari-hariku seorang diri. Hanya nasihat dari ponsel yang kuterima selama ini. Tak terasa dua minggu lagi aku wisuda. "Sebentar lagi aku akan ke Palestina bersamanya, rasanya tak sabar menunggu hari itu." Gumamku. Aku menelpon keluargaku di Indonesia dan memberinya kabar kalau akan wisuda dua minggu lagi. Aku berharap mereka bisa datang ke Paris dan pulang membawaku ke tanah air. Rasanya senang sekali. Aku sangat menunggu hari itu, hari di mana aku bisa kumpul lagi bersama mereka. 

                                                         ***

      Besok adalah hari di mana aku diwisuda. Banyak persiapan yang kulakukan dan aku mendapatkan kabar kalau keluargaku akan sampai di Paris esok pukul tujuh pagi. Rasa senangku tak dapat diungkapkan dengan kata. Saat aku sibuk mempersiapkan semuanya, tiba-tiba kepalaku pusing. Langsung kuambil obat di atas meja dan kuminum obat tersebut. "Aku harus kuat, sebentar lagi impianku untuk Palestina terwujud, aku tidak boleh lemah," gumamku menyemangati diriku sendiri.

Paris, April 2013

      Esoknya, aku menunggu keluargaku di depan lokasi wisuda. Banyak sekali orang-orang berdatangan. Kulihat dua orang lelaki berbadan tinggi dari jauh, seorang perempuan berbaju abu-abu, dan dua anak kecil berjalan menuju tempat wisuda. Aku menghampiri mereka. Iya, mereka adalah keluargaku yang datang dari Indonesia. Ayah dan bunda langsung memelukku dan "selamat ya nak, kamu hebat, hari ini adalah hari bersejarah untukmu nanti. Ayah dan bunda bangga sama kamu." Kata bunda saat memelukku. Lalu, kusalami lelaki di depanku, ia adalah pendampingku. Lalu, aku mengajaknya ke ruang wisuda 

       Setelah semuanya terkumpul, acara wisuda dimulai. Aku duduk berdua bersamanya di baris nomor dua dari depan. Sambil mendengarkan sambutan di acara wisuda ini, aku menceritakan pengalamanku di Paris kepadanya. Panjang lebar kuceritakan. Tak terasa, saatnya pembagian kenang-kenanganan untuk mahasiswa berprestasi. Dan tanpa kusadari namaku dipanggil, aku disuruh untuk naik ke panggung. Aku tidak menyangka kalau aku bisa memberikan penghargaan untuk kedua orang tuaku. Kupersembahkan semua ini untuk mereka.

        Aku mulai melangkah menuju panggung. Kepalaku pusing lagi. Aku tetap melangkah. Kepala semakin berat, seluruh ruangan berputar-putar sendiri. Tiba-tiba aku pingsan di tengah jalan. Wajahku pucat dan hidungku mengeluarkan cairan merah. Aku sangat sedih, hal seperti ini terjadi di acara bersejarah untukku. Semua orang langsung menghampiriku dan keluargaku langsung membawaku ke rumah sakit. Keluargaku sangat mengkhawatirkan keadaanku, mereka hanya bisa berdoa. Dihari yang bahagia ini, Tuhan berkehendak lain.

     Tiga jam kemudian dokter keluar dari ruangan. "Dengan keluarganya Fazea?" Kata dokter tersebut. Mereka segera menghampiri dokter, "iya, dok." Kata demi kata keluar dari mulut sang dokter, " maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain, nyawa Fazea tidak dapat diselamatkan." Seketika suasana hening, air mata tak dapat lagi ditahan. Mereka kehilangan seorang yang baik hati .

      Mereka duduk sejenak, seolah tak sanggup menerima kepergian Fazea. Tanpa sengaja, bunda membuka buku biru yang ada di tas Fazea. Lalu ia membuka lembar terakhirnya. Mereka membaca pesan singkat yang ditulis Fazea saat pertama kali menginjakkan kakinya di Paris. "Ayah dan bunda, sekarang Fazea sudah di Paris, mimpi Fazea untuk belajar di Paris bisa terwujud. Tentunya semua ini tidak lepas dari doa dan support ayah bunda. Masih ada satu impian besar Fazea untuk Palestina yang harus kuwujudkan. Aku harap tujuh tahun kemudian, aku bisa mewujudkannya. Terima kasih ayah, bunda. Sehat selalu di Indonesia. Salam Fazea." Ayah, bunda, dan lelaki yang berdiri di samping Haidar sangat terharu membaca tulisan Fazea. Hanya tangis dan kesedihan yang mebersamai, impian mulia Fazea untuk Palestina ternyata tak berpihak. Akhirnya mereka pulang ke Indonesia tanpa Fazea, sosok yang sangat gigih menggapai mimpi.

    

     

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun