Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Begini Sekolah Kami Memulai Tahun Ajaran Baru 2020 di Tengah Pandemi

15 Juli 2020   21:53 Diperbarui: 15 Juli 2020   21:43 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ajaran baru 2020/2021 telah dimulai sejak Senin, 13 Juli 2020. Tahun ajaran baru yang berbeda dibanding tahun ajaran baru sebelum-sebelumnya.

Jika tahun ajaran baru sebelumnya guru akan mengisi waktunya untuk meminta siswa berkenalan di depan kelas, dan menceritakan kegiatan liburannya, maka tahun ajaran baru ini guru harus memutar otak bagaimana agar siswa bisa belajar kembali, bisa bertatap muka kembali baik langsung maupun tidak langsung, atau minimal guru akan mengetahui bagaimana kondisi siswa-siswanya di rumah.

Di masa pandemi ini sekolah sibuk memasang wifi, guru kelas sibuk menanyakan siswanya sudah bangun atau belum melalui whatsapp baik telpon maupun chat, bahkan guru kelas juga sempat kecolongan waktu karena ternyata handphone siswa dibawa orangtuanya kerja sehingga guru tidak mampu memantau siswanya. Meskipun dalam kondisi pandemi, guru tidak boleh berleha-leha.

Sebelum menceritakan tentang kegiatan memulai tahun ajaran baru 2020/2021 ini, saya akan menggambarkan terlebih dahulu latar belakang lingkungan sekolah kami. Sekolah tempat saya mengajar meskipun terletak di desa, tetapi tidak pelosok, terjangkau dengan internet. Guru-guru di sini juga masih muda-muda semua, sehingga tidak ada yang gagap teknologi (gaptek).

Siswa yang bersekolah di sini dari kelas 1-6 sekitar 80an siswa, dimana tiap-tiap kelas kurang lebih 11-15 siswa. Mereka tinggal di desa P, B, dan K.

Tidak semua siswa yang bersekolah di sini memiliki Handphone. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya perihal perekonomian. Mayoritas orangtua siswa yang bersekolah di sini bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh pabrik, buruh pasar, dan pedagang kecil-kecilan di rumah.

Petani yaitu orangtua siswa yang memiliki lahan dan dikelola sendiri. Mereka mendapatkan uang dari hasil panen jagung, kacang, dan singkong selama 1 tahun 3x dengan sekali panen hasilnya 1 juta lebih. Biasanya hasil panen tersebut selain untuk menyekolahkan anak dan kehidupan sehari-hari, juga dikurangi untuk membeli pupuk dan membayar buruh tani yang membantu di ladang mereka.

 Buruh tani yakni orangtua siswa yang membantu menggarap ladang tetangga yang memiliki ladang. Sehari biasanya mereka dibayar 50ribu dengan jam kerja dari pukul 07.00 hingga 16.00. Jika tidak ada buruhan, biasanya para bapak-bapak akan memancing di sekitar waduk, sedangkan ibu-ibu menganggur di rumah.

Buruh pabrik yakni orangtua siswa yang bekerja di pabrik dengan gaji sekitar 1-2 juta selama 1 bulan, biasanya mereka berangkat pukul 06.00 dan pulang pukul 16.00 jika tidak ada lemburan. Jika ada lemburan, biasanya hingga pukul 22.00.

 Buruh pasar yaitu orangtua siswa yang bekerja sebagai buruh di pasar dengan gaji 20ribu sehari dari pukul 05.00 hingga 16.00.

Pedagang kecil-kecilan yaitu orangtua siswa yang berdagang toko kelontong, atau makanan (gorengan, cilok, pecel) dan minuman (es teh, dawet, pop ice) di depan rumah mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Biasanya yang membeli anak-anak tetangga kanan-kiri. Dalam satu desa, bahkan ada yang 2-3 orang berjualan dagangan serupa, hal ini menyebabkan ketatnya persaingan dagang antar tetangga.

Selama pandemi, yang masih aman adalah pekerja tani, buruh tani, dan pedagang kecil-kecilan. Sedangkan buruh pabrik dan buruh pasar beberapa terpaksa harus mengalami phk.

Kondisi perekonomian yang demikian mengakibatkan orangtua keberatan untuk membeli handphone. Terlebih lagi ada beberapa dari mereka yang gaptek.

Saya ambil contoh misal siswa saya R. Ibunya yang sebagai buruh pasar terpaksa harus meminjam uang kepada keponakannya yang bekerja di Semarang demi membelikan R handphone karena kepengen (ingin).

Atau misal D, yang juga merengek meminta hp kepada ibunya yang buruh tani. Sehingga ibunya terpaksa meminta tolong kepada saudaranya yang bekerja di Bandung untuk membelikan hp D. Hal ini karena Ayah D tidak jelas entah kemana.

Sekolah sebenarnya tidak pernah mewajibkan siswa untuk memiliki Hp. Bagi siswa yang tidak memiliki Hp, mereka bisa bergabung dengan temannya yang memiliki Hp apabila ada tugas dari guru atau jika akan diadakan kelas virtual.

Melihat kondisi yang demikian, kami para guru mencoba mengadakan kelas virtual menggunakan microsoft office tadi pagi. Siswa yang tidak memiliki handphone bisa bergabung dengan temannya yang memiliki handphone. Sehingga dalam satu perkumpulan kira-kira mereka terdiri dari 3-5 anak. Bersyukurnya, dari tempat tinggal mereka, belum ada tetangga yang terjangkit covid 19. Meski demikian, kami tetap meminta siswa untuk waspada.

Kegiatan yang kami rancang hari ini dari pukul 08.30-10.00 yaitu masing-masing guru memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka, guru dan siswa saling berkomunikasi. Tapi nyatanya dalam pelaksanaannya terjadi problem seperti masalah jaringan dan kondisi guru dan siswa itu sendiri. 

Kondisi guru dan siswa yang dimaksud adalah banyak guru yang bingung akan berkomunikasi apa dengan siswa. Kemudian ketika guru sudah berkomunikasi dengan lancar, siswa malah tidak menanggapi atau kurang aktif, dan suara siswa juga tidak terlalu terdengar ketika menjawab pertanyaan guru. 

Karena hanya komunikasi satu arah inilah menyebabkan guru juga kehabisan kata-kata dan bingung akan bicara apalagi. Bahkan beberapa guru pun ada yang memilih saling melempar tanggungjawab kepada guru lain agar bicara.  Melihat problem yang demikian maka kami menganggap kelas virtual ini kurang efektif.

Lalu, kami para guru pun akhirnya bersepakat untuk mengatur jadwal selama pandemi, yaitu bertatap muka secara langsung kepada siswa dengan mendatangi rumah-rumah mereka. Dimana guru kelas pun kemudian membagi  siswa menjadi 3 kelompok sesuai desa mereka. Sebagai contoh misal siswa kelas 1 yang rumahnya di desa P maka berkumpul di rumah X, kelas 1 yang rumahnya di desa B berkumpul di rumah Y, dan kelas 1 yang rumahnya di desa K berkumpul di rumah Z, demikian untuk kelas 1-6.

Kegiatan tatap muka ini kami laksanakan dengan jadwal bergiliran, misal pukul 08.00-09.00 di desa P, 09.00-10.00 di desa B, dan 10.00-11.00 di desa K. Bagi guru kelas hanya akan masuk 3x dalam satu minggu, sedangkan saya yang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, akan masuk Senin-Sabtu, dimana Senin kelas 6, Selasa kelas 5, Rabu kelas 4, Kamis kelas 3,  Jum'at kelas 2, dan Sabtu kelas 1.

Kami para guru berharap kegiatan yang telah kami rancang bersama ini dapat berjalan dengan lancar. Meskipun siswa kita bagi berkelompok sesuai dengan desa mereka, dimana 1 desa biasanya terdiri dari 3-5 orang, kami tetap mengajak siswa untuk social distancing, mengenakan masker, dan tidak lupa cuci tangan.

Pada akhirnya kita menyadari bahwa pandemi ini menuntut guru untuk memutar otak, mencari solusi dalam rangka menyelesaikan permasalahan belajar dalam masa-masa pandemi. Kami tetap harus berjuang bagaimana caranya agar siswa-siswa kita tidak terlalaikan, dan tujuan transfer ilmu tetap terlaksana. Pandemi ini juga mengajarkan kepada para guru untuk sabar, dan ikhlas dalam mendidik siswa-siswanya. Kelak, kita dan para siswa akan memiliki sejarah rasanya belajar di tengah pandemi covid 19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun