Ketika berbicara tentang kemiskinan banyak problem yang berserakan dan saling berkaitan dengan problem-problem lainnya. Misal kemiskinan berkaitan dengan aksi pencurian, seperti yang terjadi di desa saya.Â
Konflik ini berulang kali terjadi namun tidak pernah diusut tuntas. Jangankan diusut tuntas, warga memilih saling tuduh, saling membicarakan di belakang, dan lebih parahnya lagi mensyukuri orang yang kecurian.
Beberapa kasus akan saya ceritakan. Seperti biasa, pagi itu ibu saya membeli sayur keliling. Dan seperti biasa pula, kembali ke rumah pasti membawa berita hangat.
Pak T kehilangan jagungnya satu hektar lebih di kebunnya yang terletak tepat di depan rumah Ibu S. Para tetangga yang membeli sayur tadi pun langsung menuduh pasti yang ngambil Ibu S dan suaminya.Â
Selain karena kebunnya berada di depan rumah Ibu S, juga karena Ibu S dianggap miskin, punya hutang banyak di warung, dan tidak punya pekerjaan tetap.Â
Bahkan nenek saya menuduh Ibu S dan suaminya pasti iri karena para tetangga yang punya ladang sibuk panen jagung, sedangkan ladang Ibu S dan suaminya telah di jual untuk membayar hutang.
Siangnya ketika ibu mau ke pasar, melihat keluarga tersebut menjemur jagung di kepang (tikar anyaman bambu). Ibu pun bertanya "kok punya jagung?" Ibu S mengatakan bahwa ia mendapat jagung dari anaknya yang tinggal dibeda desa dengan kami. Sepulang dari pasar ibu mengatakan hal itu kepada Pak T. Semakin curigalah Pak T lalu menemui keluarga Ibu S.Â
Ibu S mengaku tak tahu apa-apa tentang jagung Pak T. Karena menganggap percuma saja akhirnya Pak T pulang, mengikhlaskan jagungnya hilang. Meski ikhlas tapi nyatanya setiap ia bertemu dengan tetangga yang lain, ia menceritakan tentang jagungnya yang hilang.
Pak T pun juga tak berniat melaporkannya pada Pak RT, percuma, Pak RT tidak akan bertindak apa-apa, seperti yang sudah-sudah.
Tentu saja ini bukan pertama kalinya kasus pencurian di desa saya. Satu tahun yang lalu budhe saya kehilangan Hp. Ceritanya begini. Belum lama suami budhe saya meninggal. Anaknya budhe saya tinggal di Jakarta bersama suaminya. Budhe saya pun pindah ke rumah almarhum ayahnya yang rumahnya tepat di sebelah barat rumah saya.
Kadang budhe saya masih ke rumahnya yang lama untuk menyalakan dan mematikan lampu. Pagi itu budhe saya mematikan lampu ke rumahnya yang lama, dan membawa Hp. Ia tidak hanya mematikan lampu, tetapi juga main ke tempat tetangga sebelahnya. Saat kembali, dia baru ingat Hpnya tidak ada.
Budhe saya pun teringat bahwa Hpnya tadi ditaruh di kursi teras depan rumahnya. Tetapi saat kembali Hpnya sudah tidak ada. Berita tentang Hpnya budhe saya yang hilang pun mulai tersebar dari mulut ke mulut. Dan yang mereka curigai adalah Pak M karena dia sering mencari makan kambing di sekitar rumah budhe saya.
Tetapi Pak RT tidak bertindak apa-apa, bahkan menanyai Pak M pun tidak berani. Akhirnya budhe saya mengikhlaskannya.
Ini bukan pertama kalinya budhe saya kehilangan Hp. Dulu sewaktu suaminya belum meninggal, mereka bersama warga menjenguk anak Pak RT. Sepulang dari menjenguk anak Pak RT, pakde saya baru sadar bahwa Hp yang ditaruh di saku celananya tidak ada.Â
Warga pun menuduh Pak C, adiknya Pak M lah yang mengambil, karena tadi pakde saya duduknya di sebelah Pak C. Tapi tuduhan-tuduhan itu hanya dilakukan di belakang Pak C, tidak berani di depannya. Pak RT juga diam saja.
Pak C dijuluki si maling di desa saya. Bahkan Pak C dan Pak M dijuluki keluarga maling. Tapi tentu saja julukan itu disematkan secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka.
Julukan itu disematkan sejak saya masih SD. Ceritanya Pak C ketahuan maling ayam tetangga saya, Mbah S. Mbah S panik bukan kepalang lalu langsung berlari ke pasar, karena ia yakin malingnya pasti menjualnya di pasar. Benar saja, sesampai di pasar Mbah S melihat Pak C menjual ayamnya Mbah S. Mbah S pun langsung membawa Pak C ke tetangga desa saya yang seorang polisi.Â
Ke Pak Polisi Pak C hanya diberi peringatan untuk tidak mengulanginya lagi. Entah apakah Pak C mengulangi atau tidak, nyatanya ada lagi warga kampung yang kemalingan, yaitu rumah saya.
Saat itu saya masih SMA. Pagi itu kami sekeluarga kaget bukan main. Pasalnya pintu dapur bagian belakang dirusak orang. Hp ayah, dagangan ibu, dan beberapa uang tak ada.Â
Nenek saya pun langsung menuduh Pak C yang mengambil dengan alasan bahwa sebelum terjadi pencurian itu Pak C mau berhutang rokok pada ibu, tapi ibu tidak memberikannya.Â
Akhirnya Pak C mencuri rumah kami. Begitulah analisis nenek saya. Tapi tentu saja nenek saya tidak berani menuduh di depan Pak C, hanya bisik-bisik di belakang.
Minimnya edukasi tentang penyelesaian konflik di desa saya ini mengakibatkan kasus pencurian terus dilakukan secara berulang, bahkan menjadi candu bagi si pelaku dan menular ke warga lain.
Pernah ada tetangga yang terang-terangan mengatakan "Saya tadi habis ngambil sabun di warung E." Tentu saja tetangga saya yang dilapori itu melapor ke ibu, dan ibu hanya mengatakan kepada saya, "Pokoknya kalau si P ke sini kamu perhatikan. Dia itu maling." Tidak menutup kemungkinan laporan si P kepada tetangga itu malah melahirkan maling-maling baru di desa saya.
Selain karena pola berfikir masyarakat yang ingin dianggap miskin di desa saya, juga karena minimnya upaya penyelesaian konflik. "Kalau sudah hilang ya mau diapain lagi." Begitulah kata-kata pasrah dari korban pencurian di desa saya. Padahal menurut saya kasus pencurian ini seharusnya bisa diatasi secara tuntas tanpa menunda-nunda.
Toh, yang mencuri juga warganya sendiri, dan sudah ada beberapa nama yang dianggap tukang maling. Seharusnya sebagai RT yang memiliki tugas merukunkan antar tetangga, Pak RT harus bisa menyelesaikan konflik yang dialami tetangganya. Memproses setiap permasalahan yang terjadi.Â
Menurut saya kasus pencurian di desa saya adalah hal sederhana yang bisa diselesaikan secara baik-baik dengan musyawarah. Tetapi jika tidak segera diselesaikan malah terjadi pencurian-pencurian lagi, bahkan bisa melahirkan maling-maling baru.
Selain agar kasus terselesaikan, proses musyawarah juga untuk mengedukasi warga dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan konflik masyarakat.Â
Jika warga berhasil menyelesaikan konflik dalam masyarakat, maka konflik berumah tangga tidak menutup kemungkinan bisa teratasi. Meminimalisir terjadinya konflik dalam rumah yang berlarut-larut dan berulang-ulang. Mengedukasi masyarakat untuk tidak menjadikan setiap permasalahan sebagai buah bibir, tetapi mengkomunikasikannya untuk mencari jalan keluar.
Sebelum memilih pemimpin RT, mungkin sebaiknya perlu ada edukasi kepada warga untuk memilih pemimpin yang memiliki kompetensi dalam penyelesaian konflik.Â
Dengan begitu ketika pergantian pemimpin RT, warga pun berpengalaman dalam menyelesaikan konflik. Konflik tidak turun temurun terjadi dan tidak berlarut-larut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H