Tidak ada yang berubah tentang pola berpikir masyarakat di desa saya selama lebih dari 20 tahun. Contoh saya kisahkan sebagai berikut. Lagi-lagi ibuku marah. Ibu S, tetangga saya yang mantan RW itu berhutang lagi pada ibu. Ibu sampai malas mencatat hutangnya.Â
"Nanti kalau T kirim uang, pasti dibayar." Katanya. Kenyataannya Ibu S tidak pernah membayar hutangnya yang sudah bertahun-tahun.
Kadang ibu kasihan, makanya dikasih. Ibu menganggap ada yang lebih kekurangan daripada kami. Sebagai gantinya kadang Ibu S menyuruh anak perempuannya mencarikan makan kambing ibu, atau Ibu S membantu nenek saat panen.
Anak perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun itu tidak bekerja, meski sudah punya anak 2 yang bersekolah SD dan SMP. Suaminya pun pergi entah ke mana, kata orang diusir mertuanya karena tidak bekerja dan mabuk-mabukkan.
Suami Ibu S pun sudah lama tak bekerja. Ladang yang dulu bisa membantu kehidupan mereka pun sudah dijual.
Satu-satunya uang harapan mereka hanyalah dari T, anak laki-lakinya yang menjadi PNS di Bandung. Juga ia akan membantu tetangga yang kiranya membutuhkan bantuan, bahkan tanpa diminta, dengan harapan akan mendapat imbalan.
Anehnya setiap Ibu S berhutang di warung ibu, barang yang diambil adalah bahan sekunder, bukan primer. Seperti mie, kopi, rokok, jajan untuk cucunya, dan lain-lain. Andai barang itu seperti beras, minyak, dan kebutuhan primer lainnya, mungkin bisa dimaklumi.
Depan rumah Ibu S adalah Ibu M. Ia pernah bekerja sebagai buruh pasar di sebuah toko, pernah mengalami pengangguran yang cukup lama pula. Dan belum lama ini bekerja sebagai karyawan mie ayam milik tetangga desa.
Suaminya pun pengangguran. Pernah ditawari bekerja di bakso Titoti (bakso terkenal di Wonigiri) tapi tidak berminat. Anaknya dua, SMP dan SMA. Satu-satunya penghasilan dari keluarga tersebut hanya dari istri.
Sama dengan Ibu S, Ibu M juga sering berhutang di warung ibu. Bertahun-tahun tidak dibayar. Kalau ibu menagihnya, selalu bilang tidak ada uang. Ibu pun sampai bosan dan mengikhlaskan.
Di belakang rumah Ibu M, ada Ibu C. Ia bekerja di pabrik dengan gaji 2 juta setiap bulan. Setiap ia ke warung ibu, dia pun berhutang, dengan alasan belum gajian, dan berjanji akan dibayar kalau sudah gajian.
Entah kapan dia gajian, nyatanya ia pun tidak bayar hutang. Setiap diminta bayar hutang, selalu beralasan uang gajiannya sudah habis.
Tiga personal tersebut hanyalah sample dari gambaran masyarakat desa saya, masih banyak masyarakat yang memiliki kisah serupa di desa saya.
Selain berhutang ke warung, ada pula yang berhutang ke bank plecit (tukang kredit/rentenir).
Mereka membeli barang seperti wajan, tikar, kompor, dan perkakas rumah tangga lainnya, namun tidak dibayar langsung, melainkan diangsur. Pengangsurannya setiap satu minggu sekali dan tentu saja berbunga.
Setiap mau membayar, tetangga saya yang saat itu tidak punya uang pun mulai mencari hutangan ke tetangga yang lain. Bahkan ada yang sampai menjual lahan dengan harga murah karena hutang beserta bunga di rentenir itu sudah menumpuk.
Menurut saya, pendapatan yang tidak seberapa yang dimiliki tetangga saya, selalu habis untuk keperluan yang sebenarnya tidak mendesak.
Mereka bisa beli paketan HP, tapi sulit untuk membayar hutang dan membayar SPP anak.
Anak-anak mereka sekolah bahkan sampai menengah atas, tapi ternyata meski anak-anak mereka bisa bersekolah, mereka tidak bisa merubah pola berpikir orangtua mereka.
Sekolah hanya karena ikut-ikutan. Setelah lulus dari SMA anak merantau ke Jakarta, ada juga yang menjadi kuli bangunan, karyawan bakso, buruh pasar, tukang ojek konvensional, dan pekerjaan lainnya. Sedang orangtua akan merasa bebannya ringan setelah anak selesai sekolah. Mereka pun berharap anak akan memberi mereka uang minimal setiap bulan.
Ada beberapa yang kemudian mulai memperbaiki atau lebih tepatnya memperbagus rumah mereka seperti mengkeramik rumah, mengganti cat tembok, menambah ruangan lain di rumah mereka, dan lain-lain. Lalu tetangga lain pun akan ikut-ikutan membaguskan rumah.
Pada akhirnya saya pun menyadari sekolah tidak membantu merubah pola berpikir anak-anak mereka untuk memberi edukasi kepada orangtua. Seperti misal tidak berhutang lagi, atau tidak berhubungan dengan rentenir, atau mencoba menabung untuk membangun usaha, dan edukasi-edukasi lainnya.
Semakin banyak uang yang dihasilkan anak di tanah rantau, maka mereka akan semakin sering berhutang dengan alasan dibayar nanti kalau di kasih uang anak, semakin terlibat dengan rentenir sampai akhirnya hutang menumpuk dan mau tidak mau harus menjual tanah, dan tidak ada inisiatif untuk merubah cara berpikir.
Bagi warga desa saya menyekolahkan anak selain karena budaya masyarakat juga dengan harapan anak bisa bekerja. Nyatanya untuk mendapatkan uang kita bisa tanpa repot-repot bersekolah. Bahkan yang bersekolah pun ada yang sempat nganggur.Â
Nyatanya, meski anak-anak di desa saya bersekolah tapi pola berpikir mereka tidak berbeda dengan orangtua mereka yang dulu tidak bersekolah.
Bagi mereka uang adalah segala-galanya, maka banyak kasus yang terjadi seperti kekerasan rumah tangga antara suami dan istri karena perekonomian, percekcokan anak dengan orangtua karena perekonomian, bahkan sesama saudara tidak saling peduli karena berebut warisan orangtua.
Maka menurut saya, untuk mengatasi kemiskinan, pola berpikir masyarakatlah yang harus diubah. Perlu ada edukasi kepada warga tentang pentingnya menabung, pentingnya berhemat, pentingnya membayar hutang, pentingnya tidak berhubungan dengan rentenir, dan pentingnya untuk memberi pemahaman mengapa mereka menyekolahkan anak.
Jika ingin memberantas kemiskinan, maka menurut saya adalah melalui edukasi moral masyarakat. Karena nyatanya masyarakat suka dimiskinkan, suka diberi alih-alih memberi, suka berhutang daripada membayar hutang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H