Entah kapan dia gajian, nyatanya ia pun tidak bayar hutang. Setiap diminta bayar hutang, selalu beralasan uang gajiannya sudah habis.
Tiga personal tersebut hanyalah sample dari gambaran masyarakat desa saya, masih banyak masyarakat yang memiliki kisah serupa di desa saya.
Selain berhutang ke warung, ada pula yang berhutang ke bank plecit (tukang kredit/rentenir).
Mereka membeli barang seperti wajan, tikar, kompor, dan perkakas rumah tangga lainnya, namun tidak dibayar langsung, melainkan diangsur. Pengangsurannya setiap satu minggu sekali dan tentu saja berbunga.
Setiap mau membayar, tetangga saya yang saat itu tidak punya uang pun mulai mencari hutangan ke tetangga yang lain. Bahkan ada yang sampai menjual lahan dengan harga murah karena hutang beserta bunga di rentenir itu sudah menumpuk.
Menurut saya, pendapatan yang tidak seberapa yang dimiliki tetangga saya, selalu habis untuk keperluan yang sebenarnya tidak mendesak.
Mereka bisa beli paketan HP, tapi sulit untuk membayar hutang dan membayar SPP anak.
Anak-anak mereka sekolah bahkan sampai menengah atas, tapi ternyata meski anak-anak mereka bisa bersekolah, mereka tidak bisa merubah pola berpikir orangtua mereka.
Sekolah hanya karena ikut-ikutan. Setelah lulus dari SMA anak merantau ke Jakarta, ada juga yang menjadi kuli bangunan, karyawan bakso, buruh pasar, tukang ojek konvensional, dan pekerjaan lainnya. Sedang orangtua akan merasa bebannya ringan setelah anak selesai sekolah. Mereka pun berharap anak akan memberi mereka uang minimal setiap bulan.
Ada beberapa yang kemudian mulai memperbaiki atau lebih tepatnya memperbagus rumah mereka seperti mengkeramik rumah, mengganti cat tembok, menambah ruangan lain di rumah mereka, dan lain-lain. Lalu tetangga lain pun akan ikut-ikutan membaguskan rumah.