Waktu itu saya menangis, kecewa, dan merasa berada di titik terendah kehidupan. Bahkan orang tua saya pun ikut sedih karena saya gagal masuk jurusan yang saya sukai. Tapi, pada akhirnya saya bisa berdamai dengan kehidupan, bisa melepaskan cita-cita saya menjadi guru matematika, dan bahkan menurut saya apa yang saya dapatkan saat ini adalah jalan hidup terbaik yang saya miliki.
Berbeda dengan saya, adik saya sangat lemah dalam matematika. Bahkan jika tidak didongkrak dengan nilai harian, adik saya terancam tidak lulus SMP.Â
Ayah saya marah besar, ibu saya menangis, saya? Memotivasi adik saya bahwa masa depannya masih panjang, mimpi-mimpinya masih panjang, hidup dia tidak berakhir hanya gara-gara UN sialan itu, dia cerdas bukan melalui matematika. Lalu dia gagal diterima di sekolah negri jurusan mesin.Â
Sekarang dia sekolah di swasta jurusan animasi. Well, dia sangat semangat sekali bersekolah. Tidak seperti dulu. Karena dia akan mempelajari hal-hal yang dia sukai. Menggambar, mendesain adalah hobbinya. Setiap pulang sekolah dia selalu bercerita tentang apa yang dia pelajari hari ini. Bahkan dia mulai membuka bisnis pembuatan sticker. Dan banyak sekali pesanan.
Lalu apa sebenarnya yang ingin saya katakan? Begini Pak Nadiem, sebenarnya apa tujuan sekolah itu? Apakah tujuan sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan? Karena perusahaan-perusahaan selalu mensyaratkan batas minimal pendidikan dalam open recruitment karyawan. Atau apakah untuk mencetak generasi yang mampu membuka lapangan kerja sendiri? Karena kenyataannya banyak para pekerja yang berganti-ganti pekerjaan, bahkan ada yang bekerja tidak sesuai bidangnya, Â banyak pula yang memilih untuk membuka bisnis sendiri. Atau untuk membentuk karakter peserta didik? Sekarang ini mulai menjamur sekolah Islam. Orang tua pun memilih siswanya masuk ke sekolah Islam karena dinilai bisa membentuk karakter baik peserta didiknya.
Maka tentu saja yang diinginkan adalah setelah bersekolah selama minimal 12 tahun siswa bisa mendapatkan pekerjaan, bahkan bisa membuka lapangan kerja sendiri, dan elok nian karakternya. Seperti yang dicita-citakan pendidikan nasional, terdapat 18 karakter yang harus diwujudkan sekolah melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Pak Nadiem, para orang tua di desa saya selalu memuji-muji anak yang bisa menghasilkan uang banyak, tak peduli apa pekerjaannya. Para orang tua pun tak peduli lulusan apa anak itu, SDkah, SMPkah, SMAkah, Sarjanakah, atau mungkin tidak sekolah? tidak peduli. Yang penting seorang anak bisa mempunyai uang banyak, bisa memberikannya kepada orang tua, itu adalah suatu kebanggaan.
Lalu bagi anak yang meski dulu dianggap cerdas, tapi kemudian mereka masih kuliah, dianggap anak tersebut membuang-buang uang orang tuanya. Para tetangga sibuk membicarakan bahwa anak tersebut tidak punya rasa kasihan kepada orang tua karena dia tidak henti-hentinya sekolah. Kenapa tidak bekerja saja, apa tidak kasihan sama orang tau? Para tetangga di desa saya tidak faham apa gunanya sekolah. Bahkan sepupu saya ada yang disuruh berhenti sekolah karena sudah kelas 4 SD tidak bisa membaca. Bapaknya bilang dia hanya buang-buang uang. Dan sekarang bekerja jadi karyawan bakso. Bapaknya tentu saja senang karena mendapat uang dari anaknya. Ini adalah penyakit di desa saya, dimana bersekolah dianggap buang-buang uang, dan orang tau selalu bahagia jika mendapat uang dari anaknya, tidak peduli sekeras apa anaknya banting tulang demi mendapatkan uang.
Jika sekolah itu untuk mencetak karakter, saya memiliki seorang teman yang dari SD hingga SMP selalu juara satu di sekolah, bahkan SMAnya masuk sekolah favorit di kota kami. Tapi, beberapa tahun yang lalu saya dengar dia hamil di luar nikah, dan tega menggugurkan kandungannya, tapi ternyata tidak gugur, lalu anaknya lahir selama 2 hari lalu meninggal. Ya anak itu meninggal karena obat dari ibunya waktu hamil, supaya bisa keguguran. Itu teman saya yang dulu selalu dipuji-puji guru kami, Pak Nadiem.
Pak Nadiem, bagi saya sebenarnya yang saya ceritakan adalah masalah dalam pendidikan. Ketika pendidikan tidak bisa mengarahkan siswanya menemukan potensinya. Atau ketika pendidikan malah menghambat potensi peserta didik. Adik saya pernah terhambat potensinya di SD dan SMP karena guru-guru dan orang tua tidak bisa membantu menemukan bakatnya. Nilai akademis dianggap satu-satunya nilai yang bisa mewujudkan masa depan seorang siswa.Â