Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Wujudkan Wonderful Family

11 Desember 2019   23:30 Diperbarui: 11 Desember 2019   23:35 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibuku sering memberi nasehat kepadaku bahwa menikah itu tidak seindah yang dibayangkan. Mungkin indahnya sekitar lima tahun, setelah itu kita telah tahu sifat asli pasangan, muncul kebosanan pada pasangan, tidak bisa bebas. Apalagi jika perempuan tidak memiliki karir atau pegangan uang sendiri, hanya nunggu diberi suami, ingin sesuatu serba dibatasi, terlebih jika pasangan karirnya tidak berjalan lancar, masih mikir anak-anak pula.

Maka ibu saya sering menasehati saya untuk tidak bergantung terhadap suami, jika saya menikah kelak. Saya harus punya finansial sendiri, demikianlah prinsip yang diturunkan ibu saya kepada saya. Dan itu memang terbukti, ibu saya telah mandiri secara finansial, sejak menikah dengan ayah saya, ibu saya tidak pernah minta uang ayah saya. Bagi ibu saya, yang penting ayah saya bertanggung jawab terhadap anak-anak, menyekolahkan, itu sudah lebih dari cukup.

Meski ibu saya hanya lulusan sekolah dasar, tapi bagi saya ibu lebih paham tentang feminisme. Perempuan jangan lemah, jangan mau diinjak oleh laki-laki, jangan suka menodong uang kepada laki-laki, perempuan harus maju, harus serba bisa. Demikianlah ibu mengajarkan saya, bukan hanya tentang urusan dapur, apalagi kasur, tapi juga tentang pola berfikir.

Hidup berumah tangga memang tidak selamanya mulus. Di desa saya, rumah tangga yang benar-benar harmonis menurut saya tidak ada. Semua sama. Rumah tangga yang telah dijalani selama bertahun-tahun pasti ada isu tak sedap, ada saja bahan perbincangan di masyarakat tentang kondisi keluarga tetangga.

Sampai saat ini tentu banyak konflik-konflik yang bisa saya ceritakan tentang kehidupan rumah tangga masyarakat di desa saya, tapi kali ini saya hanya ingin membahas satu contoh saja.

Saya memiliki tetangga yang masih kerabat dekat dengan saya. Sebut saja namanya Ani (istri) dan Budi (suami). Pasangan Ani dan Budi bekerja sebagai buruh serabutan. Kalau ada panggilan kerja dari tetangga ya mereka bekerja, jika tidak, maka pengangguran. Pekerjaan serabutan yang dilakukan kadang menjadi buruh pasar, kadang menjadi buruh tani, kadang membantu tetangga desa yang sedang ada acara.

Budhe saya bercerita pada ibu saya bahwa dia menitipkan uangnya sebanyak lima ratus ribu kepada Ibu Ani untuk diberikan kepada Bapak Budi. Uang tersebut diminta untuk digunakan memperbaiki sepeda motor almarhum suami budhe saya. Karena sebelum meninggal, almarhum memberikan motornya yang rusak kepada Bapak Budi, ia berpesan jika ia sudah tidak ada, maka jika budhe saya mau pergi ke suatu tempat tolong diantarkan menggunakan motor itu, karena budhe saya tidak punya anak. Dan Bapak Budi menyanggupi. 

Tapi ternyata uang lima ratus ribu itu ke Ibu Ani tidak dikasihkan ke Bapak Budi, malah digunakan keperluan sehari-hari. Bapak Budi pun tak tahu apa-apa soal uang itu saat budhe saya tanya. Ibu Ani dan Bapak Budi memang terlihat kaku, dan sepertinya diantara mereka berdua pun jarang ngobrol. Bahkan Bapak Budi sering menjelek-jelekkan istrinya kepada para tetangga. Karena tidak mau menambah konflik, budhe saya pun mengikhlaskan uang lima ratus ribu itu.

Contoh-contoh konflik pernikahan di masyarakat pernah saya bahas di tulisan saya yang berjudul Perselingkuhan, Poligami, Perceraian: Siapa yang Salah?

***

https://www.instagram.com/muslim_entrepreneurday/?hl=id
https://www.instagram.com/muslim_entrepreneurday/?hl=id
Hari ini, Rabu 11 Desember 2019 saya mengikuti kajian yang diadakan oleh Pondok Preneur Indonesia Present dengan tema Talkshow "Muslim Entrepreneur's Day": Mewujudkan Wonderful Family Tanpa Masalah Ekonomi, dengan pembicara Ustadz Cahyadi Takariawan dan Kyai Coach Fitra Jaya Saleh di Masjid Ibadurrahman. Goro Assalam, Kartasura.

Ustadz Cahyadi Takariawan adalah seorang trainer dan konselor Jogja Family Center dan Pakar Parenting. Ia juga seorang kompasianer dan telah menerbitkan beberapa buku serial Wonderful Family. Sedangkan Kyai Coach Fitra Jaya Saleh adalah seorang konsultan bisnis, marketing expert, trainer bisnis nasional, dan CEO Pondok Preneur Indonesia.

Melalui dua tokoh tersebut hari ini saya mendapatkan pelajaran yang amat berharga bagi saya, yaitu tentang mewujudkan keluarga yang ideal, meskipun saya belum menikah, tapi tentu saja ini pelajaran yang harus saya catat baik-baik dalam hidup saya sehingga suatu saat nanti jika telah tiba waktunya, akan saya praktikkan, meski saya tahu mempraktikkan tak semudah mengucapkan, haha.

***

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Apresiasi dan Afeksi dalam Interaksi untuk Mewujudkan Wonderful Family

Menurut Ustadz Cahyadi, salah satu upaya untuk mewujudkan keluarga yang ideal atau wonderful family adalah melalui apresiasi dan afeksi dalam interaksi.

Apresiasi berarti memberi penghargaan, bisa ucapan terimakasih atau pujian. Sebagai contoh, ketika seorang istri membuatkan teh manis, atau kopi, maka suami harus memberi apresiasi seperti ucapan terimakasih atau memuji bahwa teh atau kopinya enak.

Apresiasi meskipun sederhana tapi akan membantu untuk membangun interaksi yang baik dalam keluarga. Maka, apresiasi harus ditanamkan sejak dini, dan diberlakukan setiap hari. Apresiasi ini juga harus diterapkan kepada anak, sehingga anakpun akan mudah memberi apresiasi kepada orang lain.

Sebagai contoh, ketika anak minta diambilkan minum, maka seorang ibu harus membantu anak untuk bisa meminta bantuan dengan cara yang baik. Seperti, "Ma, minta tolong ambilkan minum." dan anak juga harus bisa memberi apresiasi kepada ibunya yang telah menolongnya mengambilkan minum, "terimakasih ma."

Dengan begini maka interaksi dalam keluarga akan terbangun dengan baik, tidak ada ucapan-ucapan negatif, atau sikap dingin, seperi yang sering terjadi di suatu keluarga. Jadi kehangatan di dalam keluarga itu harus dibentuk sejak dini.

Selanjutnya terkait afeksi atau bentuk kasih sayang. Afeksi yang dimaksud adalah seorang suami memberi perhatian seperti yang diinginkan istri, atau sebaliknya. Bukan seperti yang ia sendiri inginkan. Maka dalam memberikan afeksi atau bentuk kasih sayang, seorang suami atau istri harus tahu bahasa cinta pasangan masing-masing. Bahasa cinta setiap orang berbeda-beda, ada yang suka diberi hadiah, quality time, kata-kata, pelayanan, dan sentuhan fisik. Karena bahasa cinta setiap orang berbeda-beda, maka setiap pasangan memiliki kewajiban untuk mengetahui bahasa cinta yang paling dominan dari pasangannya.

Sebagai contoh, seorang istri yang merasa kurang diperhatikan suami mengatakan kepada suaminya, "engkau lebih peduli pada gadgetmu daripada istrimu". Lalu suami menjawab, "aku kurang apalagi? semua sudah aku berikan. Uang ku berikan, perhiasan ke belikan, pakaian ke belikan. Kurang apalagi?" Jika konfliknya demikian maka jelas sekali suami tidak tahu bahasa cinta istrinya. Bahasa cinta istri tersebut adalah quality time. Maka jika ada waktu luang, ngobrollah dengan pasangan, gunakan waktu sebaik mungkin, jangan malah asyik bermain gadget sendiri.

Sebaliknya, jika seorang suami pulang kerja tapi meja makan kosong, padahal istri di rumah. Lalu suami marah-marah "kamu ngapain saja di rumah sejak tadi? kenapa sampai tidak ada makanan?" maka istri, sadarilah bahasa cinta suami tersebut adalah pelayanan yang baik.

Setiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda-beda, maka agar terwujud rumah tangga yang ideal, pahami bahasa cinta pasangan masing-masing. Untuk mendapatkan bahasa cinta yang tepat maka fokuslah melihat sisi kebaikan pasangan dan toleranlah terhadap kelemehannya. Jangan kita mengungkit-ngungkit kelemahan pasangan karena itu hanya akan menghilangkan bahasa cinta itu sendiri.

Pada dasarnya semua manusia punya hasrat untuk mencintai dan dicintai. Maka kita harus waspada apabila suami sudah tidak nyaman dengan istrinya, atau sebaliknya. Mereka lebih nyaman bila sendirian. Maka ini menandakan sudah tidak ada cinta dalam rumah tangga itu. Seseorang bisa depresi karena tidak dicintai pasangannya. Jika bahasa cinta pasangan tidak terpenuhi, maka bersiap-siaplah, hati pasangan bisa diisi oleh orang lain.

***

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
7 Ciri keluarga Sukses

Keluarga yang ideal adalah keluarga yang sukses. Menurut Coach Fitra ada tujuh ciri keluarga sukses.

1) sakinah, mawaddah, warahmah. Sakinah berarti keluarga yang penuh dengan ketenangan hati. Mawaddah yaitu penuh dengan kasih sayang. Dan warahmah berarti penuh dengan cinta.

2) Memiliki kemandirian ekonomi. Keluarga yang telah mandiri secara ekonomi maka ia tidak akan bergantung pada orang lain, dan tidak akan mudah terlilit pada hutang. Karena kebergantungan kepada orang lain dan terlilit hutang inilah yang kerap kali menyebabkan rumah tangga tidak bahagia. Seperti contoh yang saya kemukakan diawal.

3) Berkontribusi pada peradaban/ ummat. Maksudnya adalah keluarga dapat mambantu menguatkan peran kita dalam kehidupan sosial, atau minimal dapat berkontribusi dalam keluarga besar kita. Berkontribusi pada peradaban seperti dapat membangun pondok pesantren, masjid, atau lainnya.

4) Tercapai cita-citanya. Setiap keluarga pasti memiliki harapan-harapan atau cita-cita. Seperti misal ingin menyekolahkan anaknya di sekolah kedokteran. Maka jika cita-cita ini terwujud maka keluarga tersebut akan bahagia.

5) Keluarga yang sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani berarti secara fisik sehat, rajin berolahraga, contoh kecil jogging setiap pagi misalnya. Dengan sehat secara jasmani maka tidak akan keluar masuk rumah sakit. Sedangkan sehat rohani berarti sehat secara spiritual, seperti jika muslim maka semua anggota keluarga rajin sholat, membaca al Qur'an, ada kegiatan diskusi agama setiap hari.

6) Menjalin hubungan yang baik dengan tetangga. Coach Fitra mengatakan bahwa semua orang sukses memiliki haters. Jadi haters itu mendatangi orang yang sukses, bukan orang yang jahat. Jika kita tidak punya haters maka kita orang yang biasa-biasa saja. Lihat para artis, politikus banyak yang memiliki haters. Karena mereka dianggap sukses, bukan dianggap jahat. Nabi Muhammad pun juga punya haters. Ia disebut gila, bahkan dilempari kotoran, tetapi ia tetap berbuat baik kepada hatersnya. Ketika orang buta menyebut ia orang yang gila, ia tetap berbuat baik pada orang buta tersebut dengan cara memberinya makanan bahkan menyuapinya. Ketika ia dilempari kotoran oleh tetangganya, ketika tetangga tersebut sakit, ia tetap menjenguknya. Maka, jangan peduli dengan haters, yang penting adalah kita selalu menjalin hubungan baik dengan siapa saja.

7) Sholeh dan sholehah. Pasangan yang sholeh dan sholehah serta anak-anak yang sholeh dan sholehah maka akan melahirkan kebahagiaan di hati masing-masing pasangan.

Demikianlah catatan saya hari ini tentang wonderful family. Maka, mari kita wujudkan wonderful family dalam kehidupan kita agar bahagia di dunia dan insyaallah di akhirat kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun