3) Diskusi dan Pemutaran Film "Istirahatlah Kata-Kata"; 4) Pameran Foto "Para Pembuka Jalan Harkat Korban untuk Martabat Bangsa"; 5) Napak Tilas Reformasi 1998; 6) Dua Jam Harmoni HAM.
Workshop ini dilaksanakan di Public Space 3 FISIP UNS pada 26 November 2019 pukul 13.00-15.30 dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu Bu Dewi dari Jejer Wadon, Bu Layla dari Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK), Mbak Lisa dari Sambut, Lindungi, dan Rangkul (SALIRA) UNS, dan Bu Ratna dari Komnas HAM.
Berikut ilmu yang saya dapatkan hari ini dengan beberapa tambahan dari sepengetahuan saya yang saya ambil dari beberapa sumber. Sebagai catatan, sebagian dari kisah ini, terutama kekerasan perempuan di masa lalu belum diakui secara formal dalam sejarah di Indonesia.
Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Lalu
Tidak ada yang berubah, kekerasan terhadap perempuan di masa lalu dan masa kini sama saja terjadi di Indonesia, bahkan di dunia. Cuplikan kisah yang saya tulis untuk menjadi pembuka artikel ini terjadi di negara lain.
Bu Dewi, selaku narasumber pertama, menunjukkan selendang berwarna kuning yang bergambar beragam perempuan era penjajahan. Perempuan-perempuan itu adalah korban kekerasan seksual yang saat ini sebagian ada yang masih hidup, dan sebagian sudah meninggal.
Bu Dewi bercerita, anak-anak usia 9 hingga 15 tahun diculik, dibawa pergi secara paksa oleh para penjajah untuk dijadikan budak seks. Orang tua mereka tidak ada yang tahu kemana perginya anak perempuannya itu.
Mereka tiba-tiba menghilang, ada yang kembali, ada yang entah kemana. Gadis-gadis pribumi berusia 9-15 tahun itu tidak tidak hanya sekali diperkosa, salah satu dari mereka mengaku diperkosa 17 tentara, hingga rahimnya rusak.
Salah satu pejuang HAM adalah Eyang Tuminah, berasal dari Karanganyar (berbatasan dengan Solo dan Wonogiri, tempat saya tinggal), perempuan pertama yang berani berbicara pada Jepang untuk meminta maaf kepada 250 ribu perempuan Asia Pasifik.Â
Malang nasibnya, ia malah diperkosa di Hotel Best Western, Solo Baru. Kini kuburannya ada di Solo.
Tahun 1965, fitnah seksual dialami oleh menteri perempuan pertama di Indonesia, yaitu SK Trimurti dari Boyolali.