Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pak Nadiem, Perubahan Apa yang Harus Dilakukan untuk Mencetak Calon Guru?

25 November 2019   22:45 Diperbarui: 27 November 2019   09:08 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru dan murid. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Selamat hari guru, saya dedikasikan untuk guru-guruku dari taman kanak-kanak, hingga SMA, dan dosen-dosenku di perguruan tinggi, serta teman-temanku yang sekarang berprofesi menjadi guru, dan seluruh guru di dunia.

Terkhusus ucapan terimakasih kepada Bu Sugiyati, guru kelas 1 di SDN 3 Ngadirojo Lor yang telah mengajarkanku mengenal huruf, mengenal angka, membaca dan menulis.

Tanpamu apa jadinya aku. Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal. Guruku terima kasihku.

(Lirik lagu Guruku Tersayang, ciptaan Melly Goeslow)

***

Ketika kata guru itu disebut, maka yang menjadi bayangan dipikiranku adalah guru-guruku. Bu Yatini yang galak tapi begitu sederhana. Bu Yuli yang telah mengajarkan kami lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa hingga terpatri dibenakku guru adalah profesi paling mulia.

Bu Sri Marmiyati, Bu Giarni, Pak Tomo, dan Pak Sugeng yang telah memberi saya kesempatan untuk berkompetisi. Pak Diastono, kepala sekolahku di SMA yang selalu menasehati kami, jangan bosan jadi anak baik dan selalu ingat kita semua punya Allah, jadi jangan takut menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Dan untuk guru-guruku semua, yang tentu masih banyak cerita-cerita lain saat bersama mereka tapi tidak bisa aku ceritakan disini semuanya. Terimakasih telah menjadi bagian dalam pendidikanku.

***

Maka ketika berbicara tentang guru, ada wajah teman-temanku yang sekarang meniti karier menjadi guru. Kadang ada satu, dua, yang bercerita tentang kehidupan profesi mereka kepadaku.

Ada satu temanku yang pemalu, ia menjadi guru SD. Dia pernah curhat bahwa kadang minder sama guru-guru yang lain. Kadang ada yang mempermasalahkan dia karena kurang bisa tegas terhadap siswa. Ah, manusia memang pandai berkomentar.

Hai sahabatku yang sekarang sedang berbahagia karena hari ini adalah harimu, hari guru. Kau tidak perlu terlalu sempurna untuk menjadi guru. Lakukanlah dengan ikhlas, penuh syukur, dan bahagia setiap harinya. Butiran-butiran kata yang kau ucapkan, setiap harinya menjadi butiran kata yang selalu dikenang oleh siswa-siswamu. Jika siswamu ada yang berulah tidak baik, nasehatilah. Kau tentu punya cara sendiri untuk membuatnya menjadi lebih baik. Maka yang perlu kau lakukan hanyalah membuat dia sadar bahwa yang dia lakukan tidak baik. Bukan memarahinya. Itu saja. Tetaplah jadi dirimu sendiri, jangan memaksakan diri untuk menjadi seperti orang lain, karena setiap guru tentu memiliki cara sendiri-sendiri untuk mendidik siswanya.

Lalu ada sahabatku yang lain yang pernah menceritakan honornya hingga dia akhirnya memilih memiliki pekerjaan sampingan.

Tak masalah gajimu tak seberapa, tapi hai lihat, bukankah siswa-siswamu selalu menceritakan hal-hal baik kepada orang tua mereka, tentang mulianya dirimu karena memuji mereka, mulianya dirimu karena memberi nilai 100 kepada mereka, mulianya dirimu karena tidak memarahi mereka jika mereka salah, mulianya dirimu karena berhasil melenyapkan kesedihan mereka, mulianya dirimu karena berhasil menumbuhkan impian masa depan pada diri mereka. Ah, kau begitu mulia hingga tak mampu dinilai hanya dengan uang. Tapi kemuliaanmu itu akan dihargai dengan doa-doa siswa-siswamu yang tak putus, surga yang tengah menanti kedatanganmu, dan terwujudnya generasi penerus bangsa yang luar biasa. Tersenyum dan berbahagialah setiap hari.

***

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Menteri Pendidikan membuat pidato untuk memperingati hari guru nasional pada 25 November 2019, yang akan dibacakan di setiap sekolah oleh para guru. 22 November 2019, Kemendikbud melalui twitternya, mengunggah pidato Nadiem Makarim. 

Pidato tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa dari guru maupun non guru, membuat para guru tergugah, terbangun, dan beranjak untuk bangkit dari berbagai problematika yang dihadapi. Pidato tersebut mengupas apa adanya kondisi pendidikan di Indonesia yang telah mentradisi dari waktu ke waktu.

Pak Nadiem, benar apa yang engkau katakan bahwa perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Maka perubahan itu selain dilakukan oleh para guru, sebaiknya juga dilakukan oleh dosen-dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan selaku pencetak calon guru.

Pak Nadiem, engkau mengatakan bahwa

Anda ingin membantu murid di kelas tetapi waktu anda habis untuk mengerjakan administratif tanpa manfaat yang jelas.

Benar Pak Nadiem, guru-guru terlalu sibuk dengan urusan administrasi, seperti yang pernah ditulis oleh Kompasianer Ozy V. Alandika dengan judul "Jangan Bebankan Guru SD dengan Administratif Mengajar yang Ruwet".

 Bagaimana kita tidak sibuk mengurusi administrasi, ketika kuliah saja, kita 1 semester (6 bulan) dilatih membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Itupun ditambah dengan ketika kita akan microteaching (latihan mengajar) di semester 5 dan 6 (1 tahun), plus saat magang (semester 7) kita disibukkan dengan persiapan RPP itu. Bahkan hingga lembur-lembur kita mengerjakannya, kadang bahkan sampai revisi berkali-kali. 

Menariknya Pak Nadiem, dosen saya yang mengampu mata kuliah pembuatan RPP ini disiplin sekali. Saat Ujian Akhir Semester menyuruh kami bertemu beliau tatap muka secara langsung hanya untuk ditanyai remeh temeh tentang RPP itu.

Sebenarnya Pak Nadiem saya sendiri waktu itu berfikir dosen saya ini membuang-buang waktu, bayangkan 300 mahasiswa maju satu-satu menghadap beliau, 3 hari beliau sibuk sekali mewawancarai kami tentang RPP itu. Bahkan pekerjaan ini beliau mulai dari pagi pukul 8.00-21.00. Meski pada akhirnya, RPP yang sudah kami buat dengan bersusah payah itu hanya diloakkan.

 Setelah kami magang di sekolahpun, kami harus mencetak 3 laporan yang kebanyakan juga tentang RPP itu setebal 100 halaman lebih. Bahkan silabus yang kami download itu juga harus kami cetak. Padahal dosen kami sebenarnya mudah sekali mendownload, agar kami bisa berhemat juga.

Saya dan teman-teman saya sampai tidur di fotocopyan gara-gara hal ini. Untung tukang fotocopyannya baik sehingga tidak mengusir kami.

Benar Pak Nadiem, kami tahu bahwa potensi anak tidak di ukur dari hasil ujian, kami sudah mengalami bersekolah dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, Pak Nadiem. Sepanjang itu pula kami merasakan bahwa guru-guru kami selalu memuji-muji anak yang paling pintar di kelas.

Bahkan ketika di Perguruan Tinggi, kami malu sekali jika nilai kami tidak A. Kami malu sekali jika IPK kami tidak cumlaude. Bahkan bagi mahasiswa akhirpun, kami malu sekali ketika harus mengejar-ngejar dosen yang cueknya minta ampun, padahal kita ingin mendapat bimbingan.

Kita pun rela dibentak-bentak, dianggap bodoh, dan difitnah kami terlalu santai. Padahal Pak Nadiem, kami sampai tidak tidur mengerjakan skripsi agar bisa di acc pembimbing kami. Hingga kami merasa harus vacuum dari potensi-potensi kami sendiri demi nilai dan IPK yang memuaskan.

Benar Pak Nadiem, ketika menjadi guru, ingin sekali rasanya kami mengajak murid keluar kelas untuk belajar dengan alam. Bahkan ketika kami kuliah, senang sekali jika organisasi kami melakukan study tour atau refreshing secara outdoor. Bayangkan Pak Nadiem, 4 tahun kami kuliah, belum pernah sekalipun dosen kami mengajak belajar di luar ruangan.

Kami hanya duduk sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan dosen kami ceramah atau teman kami presentasi. Lalu kami disuruh bertanya, dan yang bertanya mendapatkan poin. Bahkan di kampus saya Pak Nadiem, ada yang namanya Shobron (mondok di pondok milik Universitas Muhammadiyah Surakarta selama 4 hari).

Kami kira, kami akan mendalami Islam, melakukan muroja'ah hafalan atau menambah ayat hafalan, atau diberi motivasi yang menyentuh untuk mendalami keimanan kami. Tapi ternyata tidak Pak Nadim, kami disana hanya disuruh aktif bertanya dan yang paling aktif mendapatkan nilai A. Apa ini? Emangnya kami anak TK.

Benar Pak Nadiem, setelah kami menjalani hidup hingga lulus dari Perguruan Tinggi, kami harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Kemampuan berkarya dan berkolaborasi dapat membantu kami menemukan pekerjaan.

Seperti yang anda katakan, kesuksesan terletak pada karya dan kolaborasi, bukan pada kemampuan menghafal. Tapi Pak Nadiem, ketika menjelang ujian, kami terlalu sibuk menghafal materi yang sudah dirangkumkan dosen-dosen kami di PPT. Bahkan materi yang pernah kita diskusikan atau debatkan di ruang kelas hingga kadang diperlebar dengan didebatkan di grup whatsapp kelas tidak pernah keluar saat ujian.

Membuat makalah dan presentasi adalah makanan kami sehari-hari, tapi kami lebih suka copy paste lewat blog orang lain. Apalgi dosen kami tidak menyuruh kami untuk turnitin dulu, jadi plagiasi ataupun tidak, tidak masalah yang penting kami mengerjakan tugas membuat makalah dan presentasi.

Mungkin sebab inilah Pak Nadiem, sulit sekali kami menyajikan skripsi yang bisa tembus jurnal ilmiah. Skripsi kami pada akhirnya hanya menjadi pajangan sebagai tanda kita pernah berdarah-darah demi wisuda. Skripsi itu bahkan sekarang sudah dimakan rayap, dan pada akhirnya dijual bersama dengan lembaran makalah-makalah kuliah kami.

Pak Nadiem, anda telah membantu para guru untuk membuat 5 perubahan kecil seperti

1) mengajak kelas berdiskusi; 2) memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas; 3) mencetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas; 4) menemukan bakat dalam diri siswa yang kurang percaya diri; 5) menawarkan bantuan kepada guru yang mengalami kesulitan.

Pertanyaan saya Pak Nadiem, perubahan kecil apa yang harus dilakukan oleh dosen-dosen kami di Perguruan Tinggi berdasarkan konflik yang saya paparkan tadi untuk mencetak calon guru? Perubahan kecil mengajak kelas berdiskusi dan memberi kesempatan untuk mengajar, sebenarnya sudah dilakukan oleh para dosen, bahkan setiap hari, menurut saya.

Teman saya yang suka ngomong, berbusa-busa setiap hari menjadi sorotan publik, sedang teman yang lain yang tidak terlalu suka bicara, tidak terlalu menonjol di kelas. Kadang pula selama kuliah, isinya hanya debat terus, tapi yang di debatkan titik poinnya tidak ketemu. Kami hanya suka bicara, tapi sulit mencerna hal-hal penting. Malah kadang sebagai ajang kekuatan hafalan dalil-dalil.

Menurut saya pribadi calon guru masih banyak yang tidak percaya diri berbicara di depan, masih kurang rela menawarkan jasanya untuk terlibat dalam suatu kegiatan, masih sering mengeluh ketika diminta menulis, tidak berselera jika diminta menemukan bakat lain yang dimiliki diri sendiri, dan dosen-dosen kamipun kadang tidak peduli dengan kami. 

Terasa ada sekat antara kami dengan dosen kami. Pembelajaran kami di kelas monoton. Jika ada dosen yang kosong, kami senang sekali. Kami merasa apa yang dipelajari di kampus tidak begitu berpengaruh dengan dunia kerja di sekolah nanti.

Bahkan kami baru tahu yang namanya jurnal ilmiah saja baru waktu skripsi, itupun disebabkan untuk membuktikan bahwa penelitian kami merupakan orisinalitas. Dunia kampus terkadang begitu membosankan.

Demikian Pak Nadiem, terimakasih telah memahami dan memberi solusi problematika para guru. Selamat hari guru untuk seluruh guru di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun