Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Mahasiswa Terpapar Radikalisme

20 Oktober 2019   09:13 Diperbarui: 20 Oktober 2019   10:04 2377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram.com/komunitasmuslimahtaat.id-Contoh kajian dengan membatasi only akhwat

Dilansir dari tirto.id, pada 31 Mei 2019, Direktur Riset Setara Institute, Halili mengatakan, terdapat 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham Islam radikalisme, 10 PTN tersebut yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Uniram), dan Universitas Airlangga (Unair).

Berdasarkan pengamatan penulis sebagai alumni mahasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, tidak hanya PTN yang terpapar radikalisme, tetapi juga Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 

Terutama mahasiswa baru kerap menjadi sasaran target radikalisasi, terutama mahasiswa yang cenderung eksklusif dan bukan lulusan pondok, atau pernah mondok di luar lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. 

Hal ini dikarenakan NU (1926) dan Muhammadiyah (1912) yang berdiri sebelum Indonesia merdeka, cenderung mengajarkan pluralisme kepada santri-santrinya. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan ada juga santri NU dan siswa Muhammadiyah yang terpapar radikalisme setelah masuk Perguruan Tinggi.

Awal mula mahasiswa terpapar radikalisme diawali dari ketika memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau disebut kegiatan expo. Seperti yang penulis pernah bahas dalam laman kompasiana dengan judul Faktor-faktor Seseorang Terpapar Radikalisme, mahasiswa ketika memasuki bangku perkuliahan berusia 18-25 tahun (masa remaja-dewasa awal), mereka cenderung tertarik dengan hal-hal tentang agama. 

Mahasiswa yang berpenampilan Islami cenderung memilih UKM yang Islami seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Niat memilih organisasi tersebut mayoritas ingin menambah pengetahuan terutama dalam bidang agama.

Zuly Qodir dalam bukunya "Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman" (2009, p. 97-98) memberikan ciri-ciri lebih detail terkait kelompok-kelompok gerakan Islam kampus ini.

Biasanya bagi laki-laki memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah nabi), memakai celana cingkrang dan baju gamis atau koko,  dan menghitamkan jidad. 

Sedangkan untuk perempuan, mengenakan jilbab panjang, dan mengenakan cadar, ada juga yang mengenakan masker kain. Biasanya mereka memanggilnya dengan sebutan ana untuk saya dan antum untuk anda.  Ikhwan untuk laki-laki dan akhwat untuk perempuan.

sumber: instagram.com/komunitasmuslimahtaat.id-Contoh kajian dengan membatasi only akhwat
sumber: instagram.com/komunitasmuslimahtaat.id-Contoh kajian dengan membatasi only akhwat

Mayoritas mereka adalah aktivis-aktivis masjid yang sering mengadakan pengajian dengan tema hijrah dan khilafah. Dalam melakukan pengajian biasanya mereka menggunakan tabir (tirai penyekat) untuk memberi batas antara ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan). 

Dan diselenggarakan dalam kondisi lampu dimatikan (gelap) dan bersifat tertutup. Sebelum pengajian biasanya diputarkan lagu-lagu jihad dengan video-video perjuangan muslim di Palestina melawan Israel.

Mereka juga aktif dalam mencetak bulletin dengan tema Khilafah, yang mayoritas didapat dari kajian Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).  Mantan aktifis HTI, Ainur Rofiq Al-Amin dalam bukunya "Khilafah HTI dalam Timbangan" (2017, p. 2-3) menjelaskan inti khilafah menurut HTI,

HTI menyebut komunitasnya sebagai satu-satunya pejuang khilafah di dunia. HTI mengeklaim khilafah yang mereka perjuangkan adalah institusi politik atau negara yang sesuai dengan Islam dan pernah tegak sejak masa Nabi Muhammad hingga tahun 1924. 

Bagi HT, bentuk negara yang ada saat ini tidak sesuai dengan Islam bahkan melanggar hukum Islam. Mereka menganggap Islam yang mereka perjuangkan adalah agama yang dapat memberi solusi terhadap problem hidup manusia.

Faraq Fouda, seorang pemikir, pegiat Hak Asasi Manusia, dan  komentator sosial, ditembak mati di Madinah, al-Nashr, Kairo, pada 8 Juni 1922. Pikiran dan tulisannya dianggap menghina Islam, ia dianggap musuh Islam, dan halal darahnya. 

Pemikiran dan tulisan Fouda salah satunya dalam bukunya "Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin" (2007, xv).

Khilafah dalam sejarahnya tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Yang sering tampak dari politik Islam justru hal-hal yang bertentangan dengan Islam. 

Tiga dari empat khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi, yang menurut riwayat telah dijamin masuk surga. Hanya Abu Bakar yang wafat secara wajar. 

Utsman bin Affan tewas dan jenazahnya tidak diberlakukan dengan hormat. Jenazahnya baru dimakamkan tiga hari setelah ia wafat. Ketika proses pemakaman berlangsung, sebagian Muslim tidak mau menyembahyangkannya. 

Bahkan ada yang melempari, meludahi, dan mematahkan salah satu persendian mayatnya. Akhirnya, ia tidak diperkenankan dikuburkan di pemakaman Muslim, sehingga harus dikuburkan di pemakaman Yahudi. 

Para pembunuh Utsman sementara itu bebas berkeliaran. Mereka seakan-akan tidak mengindahkan kenyataan bahwa Usman termasuk jajaran orang-orang yang pertama masuk Islam. Mereka juga tidak memperhatikan umurnya yang sudah 83 tahun. Mereka melupakan bahwa ia adalah suami salah seorang putri Nabi.

Foudah menambahkan (p. xvii), 

Kebanyakan orang hanya akan mendengar apa yang mereka sukai, lalu mereka menganggap orang yang berbeda pemahaman dengan mereka sebagai pidana kriminal. 

Prioritas beragama, bukan tentang hal yang remeh temeh seperti jenggot, pakaian model Pakistan, menggunakan siwak, tatacara masuk kamar kecil, mencari tahu dimana Dajjal akan muncul. 

Hal-hal yang lebih esensial adalah menuntut ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi dengan menggunakan ijtihad, malah tidak dipikirkan.

Kelompok yang terpapar radikal kerap mengkritik hal-hal yang mereka anggap bertentangan dengan ideologi mereka, terutama tentang demokrasi. Menurut mereka demokrasi adalah haram. Demikian juga Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. 

Karena menurut mereka demokrasi adalah buatan Barat, segala hal yang berkaitan dengan Barat adalah haram, demikian pula UUD 1945 peninggalan Belanda.



Mereka juga menganggap media selain yang bernamakan Islam adalah buruk. Hal ini penulis rasakan sendiri ketika masih kuliah, penulis membaca majalah tempo, kemudian salah satu teman yang aktif di organisasi LDK mengomentari, "kok bacaannya tempo, bacanya itu yang islami-islami, kayak Islampos gitu."

Radikalisme di kalangan mahasiswa semakin menguat terutama melalui media sosial. Seperti yang dikatakan Ines von Behr, dkk dalam bukunya "Radicalisation in the Digital Era: the Use of the Internet in 15 Cases of Terrorism and Extremism" (2013, p. 17),

A handful of studies suggest that the internet has broken down some of the barriers that exist in the physical world for certain groups of people to become involved in extremism. 

This has been particularly highlighted in the case of women in relation to jihadism. Ome authors suggest that shy individuals can benefit from the access that the internet gives them to radicalisation.

[Beberapa penelitian menunjukkan bahwa internet telah meruntuhkan beberapa hambatan yang ada di dunia fisik untuk kelompok orang tertentu untuk menjadi ekstremisme. 

Hal ini sangat disorot dalam kasus perempuan dalam hubungannya dengan jihadisme. Beberapa penulis berpendapat bahwa individu pemalu dapat memperoleh manfaat dari akses yang diberikan internet kepada mereka untuk radikalisasi].

Dilansir dari tirto.id Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah melakukan pemblokiran konten terkait radikalisme-terorisme dalam 10 tahun terakhir berjumlah lebih dari 10ribu konten. Jumlah tersebut berdasarkan temuan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo dari tahun 2009 sampai dengan 2019. 

Meski sudah dilakukan penutupan terhadap konten radikalisme, terorisme, dan separatisme, Plt Kepala Biro Humas Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan bahwa Kementerian Kominfo terus melakukan pencarian konten dalam situs web atau platform dengan menggunakan mesin AIS setiap dua jam sekali. Ferdinandus mengimbau masyarakat untuk menghindari penyebaran konten yang radikalisme, terorisme, dan separatisme.

Radikalisme di kampus memberikan dampak negatif dan mengancam Indonesia ke depannya. Salah satu dampak yang rentan yaitu apabila mahasiswa telah terpapar radikal, maka ia akan menjadi pribadi yang tertutup dengan masyarakat dan cenderung membid'ahkan hal-hal yang dianggap berbeda. 

Dampak lain yaitu, apabila mahasiswa telah lulus, kemudian dia mengabdi di masyarakat, contoh menjadi seorang guru, maka doktrin pemikirannya dapat dengan mudah ia lahirkan ke siswa-siswanya sehingga siswa-siswanya bisa jadi membenci penguasa, demokrasi, pancasila, bahkan Indonesia itu sendiri. 

Nilai-nilai Indonesia yang santun, ramah, menghargai perbedaan, dan cinta damai bisa luntur karena doktrin-doktrin kebencian. Guru yang seharusnya bisa menjadi cerminan peserta didik, malah menjadi provokasi memecah belah bangsa. Hal ini penting untuk diperhatikan.

Oleh sebab itu, maka sebaiknya dosen-dosen di kampus lebih memperhatikan  ideologi unit kegiatan mahasiswa beserta mahasiswa-mahasiswanya. Sebagai dosen, sebaiknya bisa memberi contoh menunjukkan rasa cinta Indonesia melalui sikap menghargai perbedaan dan mencintai perdamaian. Bukan menjadi dosen yang memprovokasi mahasiswanya.

Sebagai penutup, mengutip kata mutiara dari Abu Thalib tentang hakikat pendidikan,

Karakter asli kemanusiaan terbentuk melalui belajar. Sebelum melakukan interaksi dengan lingkungannya melalui proses belajar, manusia hanya sebongkah daging, tulang, dan komponen tubuh yang kosong. Setelah bersentuhan dengan proses belajar, secara perlahan tapi pasti, terbentuklah kepribadian pendidikan. Pesan dan informasi yang diterimanya membentuk jati dirinya yang sebenarnya. Ia mulai menafsirkan pesan dan informasi yang masuk ke pendengarannya. Bahkan, pada tahap selanjutnya, ia menyampaikan pula pesan yang diterimanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun