Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Faktor-faktor Seseorang Terpapar Radikalisme

18 Oktober 2019   00:57 Diperbarui: 18 Oktober 2019   01:17 1971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

10 Oktober 2019, rakyat Indonesia dikejutkan oleh media, Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ditikam oleh seorang lelaki berpakaian hitam, di pintu gerbang Alun-Alun Menes, Purwaraja, Pandeglang, Banten, setelah menghadiri peresmian salah satu gedung di Universitas Mathla'ul Anwar (Unma).

Polisi mengungkap penikam atau penusuk Wiranto adalah Syahril Alamsyah alias Abu Rara (31 tahun) dan istrinya, Fitri Andriani (21 tahun). Polisi juga mengungkap bahwa Abu Rara telah masuk dalam pantauan aparat sejak bergabung dengan pemimpin Jama'ah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, Abu Zee Ghuroba. Abu Zee sendiri telah ditangkap Densus 88 Antiteror pada 23 September 2019 lalu.

Selain Wiranto,  dua orang yang berusaha menghalangi penyerang, Kapolsek Menes Kompol Daryanto terluka di bagian punggung, dan Fuad terluka di dada sebelah kiri atas. Dilansir dari news.detik.com, sebelum menyerang, Abu Rara berbagi tugas dengan istrinya, "Saya menyerang pejabat itu. Nanti kamu serang polisi yang terdekat dengan kamu," jelas Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/10/2019). 

Berdasarkan penjelasan Dedi Prasetyo selanjutnya, pada Kamis (17/10/2019), Abu Rara juga memerintahkan anaknya untuk melakukan penyerangan menggunakan pisau, yang mana diketahui bernama pisau kunai, namun anaknya yang masih dibawah umur tidak berani melakukan penyerangan tersebut, sehingga penyerangan hanya dilakukan oleh Abu Rara dan istrinya.

Tertusuknya Wiranto, menimbulkan perang framing antara dua kubu, yaitu kubu yang menganggap ini rekayasa pemerintah, dan kubu yang menganggap ini fakta. 

Menurut Rustika Herlambang, Dir. Komunikasi Indonesia Indikator, dalam Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (15/10/2019), dari hasil analisa twitter, ada 90ribu percakapan dari 26ribu akun yang mempertanyakan Wiranto ditusuk. 80% yang merespon kasus Wiranto ditusuk adalah kaum milenial. 

Pada saat kejadian 15,58% bersikap empati, dan 18,8% masih mempertanyakan ini fakta atau rekayasa. Dua hari kemudian, 44,03% masih mempertanyakan, 29,1% netral, dan 16,8% meyakini ini bukan rekayasa. 

Framing yang mempertanyakan ini fakta atau rekayasa semakin bertambah salah satu faktornya adalah tweet dari Hanum Rais, anggota DPRD dari DIY. Akibat tweet tersebut, Hanum Rais dilaporkan ke Bareskim Polri, tetapi ditolak Mabes Polri.

screenshot pribadi
screenshot pribadi

Kasus lain terkait tertusuknya Wiranto adalah 7 anggota TNI AD diberi sanksi terkait komentar penusukan Wiranto, 6 diantara mereka karena komentar anggota keluarganya di sosial media, sedangkan satu anggota TNI AD karena komentarnya sendiri. Selain itu, yang menjadi perbincangan hangat publik adalah dicopotnya TNI AU karena istrinya berkomentar di facebook terkait penusukan Wiranto. 

Terkait hal ini Ishak Pardosi, menulis di laman kompasiana.com agar kita hati-hati dalam menggunakan jempol di media sosial. Ali Imron, selaku terpidana terorisme, melalui ILC juga mengingatkan untuk berhati-hati, jangan-jangan ia terpapar radikalisme.

Berdasarkan latarbelakang kasus Wiranto tersebut, dapat diamati bahwa seseorang yang terpapar radikalisme dan pelaku terorisme semakin banyak. 

Dilansir kompas.id, dalam waktu sepekan 40 terduga teroris telah ditangkap. Menurut Wawan Purwanto, juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN), sebagaimana dilansir voaindonesia.com, remaja usia 17-24 tahun rentan terpapar radikalisme. 

Namun ada juga usia 24-45 tahun dan di atas 50 tahun yang terlibat. Sebagaimana yang dikatakan Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2011 - 2014, bahwa terorisme adalah anak kandung radikalisme.

Menurut Hasibullah Satrawi dalam bukunya "Jangan Putus Asa: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya" (2018, p. 35-52) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terpapar ideologi radikal dan terorisme.

Semangat Keagamaan

Menurut John W. Santrock, sebagaimana yang pernah saya tulis dalam kompasiana.com 5 Hal Privasi dalam Kehidupan bahwa remaja dan dewasa awal mengalami kondisi identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion), dan keakraban versus keterkucilan (intimacy versus isolation). 

Pada masa ini mereka mulai berfikir lebih abstrak, idealistik, dan logis dibandingkan anak-anak. Cara berfikir yang demikian menjadikan mereka mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep religiusitas dan spiritual (Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas Jilid 1, 2017, p. 442). Remaja merasa ia mengenal hal baru yang bersifat keagamaan, padahal sebelumnya ia tidak terlalu peduli dengan persoalan keagamaan. 

Hal ini seperti yang diceritakan oleh Putri, nama samaran di ILC, returnis Syiriah. Ia mengaku menyukai sejarah dalam Islam, lalu mulai berangan-angan apakah mungkin ada kehidupan seperti zaman Rasulullah dan khulafaur rasyidin. 

Tahun 2014 ia melihat di internet tentang ISIS di Syuriah. ISIS mengaku menegakkan kehidupan seperti zaman Rasulullah. Dia bersama keluarga besarnya kemudian berangkat ke Syuriah. Tetapi setelah sampai disana ternyata tidak seperti yang diharapkan. 

Merujuk pendapat Syeikh Yusuf Al-Qardhawi, salah satu mantan pimpinan Jamaah Islamiyah Mesir, ciri dari semangat keberagamaan yang berlebihan (ekstrem) yaitu fanatisme kelompok yang sampai pada tahap menyalahkan, membid'ahkan, bahkan mengkafirkan pihak lain yang berbeda. 

Hingga akhirnya mereka meninggalkan tradisi keagamaan yang diikuti keluarga dan kelompok lamanya, dan memilih bergabung dengan kelompok baru yang lebih keras mempraktikkan semangat keagamaan yang ada. 

Setelah bergabung dengan kelompok yang lebih ekstrem, mereka kembali meninggalkan kelompoknya dan bergabung dengan kelompok yang lebih ekstem lagi. Begitu seterusnya hingga yang bersangkutan bergabung dalam jaringan teroris yang mengekspresikan semangat keagamaan dan perjuangan dalam bentuk kekerasan.

Kezaliman terhadap umat Islam

Kezaliman terhadap umat Islam seperti konflik Israel-Palestina, penyerangan terhadap Irak, Penyerangan terhadap Afghanistan, termasuk konflik Ambon dan Poso. Seperti yang dialami oleh Sofyan Sauri, mantan napi teroris. Konflik di Palestina dan Bosnia pada era 1990an, ketika ia masih SMA, membuat ia terbuka hati untuk membantu kaum muslimin. 

Sebelum menjadi teroris ia adalah seorang polisi. Bahkan ia hidup dalam lingkungan polisi. Namun karena terpapar radikalisme, ia kemudian di keluarkan dari kepolisian. 

Ia kemudian mempelajari buku-buku tafsir tentang jihad dan menemui narapidana terorisme. Keluar dari kepolisian, ia mulai mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepemahaman dengan dia, dan merekrut kader dari golongan pemuda-pemuda sholeh karena dianggap lebih mudah dibanding orang yang tidak pernah sholat.

Kezaliman terhadap umat Islam inilah yang melatarbelakangi aksi teror di Bali, Hotel JW Marriot, Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan kedutaan asing lainnya. Hal ini dikarenakan tempat-tempat tersebut dianggap simbol dari negara asing yang terlibat dalam pembantaian terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, maupun Palestina.

Sosial Ekonomi

Pelaku bom bunuh diri di depan Hotel JW Marriot II pada tahun 2009, Dani Dwi Permana, adalah contohnya. Menurut beberapa sumber Dani berasal dari keluarga yang tidak harmonis, bapak dan ibunya bercerai. Pada saat kejadian bom, bapaknya Dani, Zulkifli Aroni, sedang di penjara karena terlibat pencurian di Kantor Tala Kahuripan. Pada perkembangan selanjutnya, Dani bertemu dengan Syaifudin Zuhri. Hingga akhirnya ia rela melakukan aksi bom bunuh diri.

Ajakan Teman dan Keluarga

Ajakan teman, sebagaimana yang diutarakan seorang mantan teroris yang pernah dipenjara di Lapas Cipinang, 29 November 2017, anonim, ia mengaku mulai tertarik dengan jaringan terorisme sejak memiliki teman yang sebelumnya terpapar oleh keyakinan radikalisme. Pertemanan mereka sudah berlangsung sejak SMA hingga perguruan tinggi.

Ajakan keluarga, sebagai contoh Ali Ghufron, Ali Imron, Amrozi, dan Ali Fauzi sebagai kakak-adik terlibat dalam jaringan terorisme. Ali Ghufron dan Amrozi telah dieksekusi mati. Ali Fauzi telah dibebaskan. Sedang Ali Imron masih menjadi tahanan. Contoh lain adalah kasus bom bunuh diri di gereja Surabaya, Dita Oepriarto (ayah) dan Puji Kuswati (Ibu) beserta 4 anaknya, Yusuf (18 tahun), Firman (16 tahun), Fadila (12 tahun) dan Famela (9 tahun).

 Hubungan Guru-Murid

Hubungan guru-murid ini dialami oleh Abu Isa alias Zaim, mantan kombatan dalam konflik Ambon dan Poso. Ia mengaku gurunya jugalah yang mengeluarkannya dari lingkaran terorisme itu. 

Pengaruh guru dan murid ini bersifat dominan dan nyaris absolute, karena sistem pengajaran  yang diterapkan secara tertutup dan hanya satu pintu, yaitu melalui gurunya atau orang yang dianggap bagus oleh gurunya. Di luar itu, nyaris tidak ada sumber ilmu pengetahuan lagi yang boleh diakses.

Perkawinan

Modus baru dari terorisme yaitu pengantin bom istana. Seperti yang terjadi pada Dian Yulia Novi dan  Nur Solihin. Mereka menikah tanpa tahu satu sama lainnya. Mereka mau menikah dengan alasan demi menggapai ridho ilahi. Padahal Dian tahu bahwa Solihin sudah mempunyai anak dan istri.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa siapapun bisa terpapar radikalisme bahkan menjadi terorisme, baik itu polisi, mahasiswa, guru, dosen, tentara, artis, dan lain sebagainya. 

Terlebih saat ini proses radikalisme dan terorisme tidak hanya dapat dilakukan dengan bertemu langsung, tetapi bisa hanya melalui media sosial. 

Bahkan bisa dilakukan bukan karena orang lain, tapi hanya karena keinginannya untuk masuk surga, mereka rela melakukan amaliyah mencelakakan diri sendiri dan orang lain, bahkan keluarganya sendiri.

Oleh sebab itu, maka penting saat ini bagi kita untuk lebih berhati-hati dengan paham-paham yang tidak masuk akal. Penting bagi orang tua untuk mengajak anak berinteraksi, menanamkan rasa cinta damai, menghargai yang berbeda, saling memaafkan, dan membantu anak dalam mencari jati dirinya. Jangan sampai anak sebagai generasi penerus bangsa terjebak dalam pergaulan yang eksklusif dan membenci sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun