"Pilih SMK aja, biar langsung dapat kerjaan kalau udah lulus."
"S1 pendidikan kok kerja di pabrik, percuma kalau sama kayak yang nggak kuliah."
"Kuliah cuma buang-buang uang, mending cari kerja aja."
"Itu sarjana tapi pengangguran."
"S1 jadi guru gajinya 300 ribu, mending nggak kuliah, gajinya gede."
Terlalu sering mendengar perbincangan-perbincangan yang tidak berkelas, terasa bising, dan memuakkan. Maklumlah, mereka tidak faham apa hakekat pendidikan. Pendidikan hanya diukur sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi setelah kerja dan gajinya dirasa kurang, hidup mereka tidak puas, dan akhirnya membanding-bandingkan dengan orang lain.
Sebagai anak desa yang mendapatkan pengalaman untuk berpendidikan, saya merasa terselamatkan dari pembicaraan  yang tidak penting.
Dimanapun berada, entah di desa, di kota, di perusahaan, di kampus atau sekolah, bahkan di keluarga sendiri, pasti ada lingkungan toxic.
Lingkungan toxic adalah lingkungan yang tidak sehat, yang membuat kita tidak bersyukur dengan yang kita miliki, sehingga kita selalu membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain.
Merry Riana dalam bukunya "A Gift From A Friend" membahas tentang pendidikan, apakah sebagai batu loncatan, atau batu sandungan? Pendidikan sebagai batu loncatan yaitu pendidikan sebagai batu tumpuan untuk melompat (meloncat) mendapatkan pekerjaan yang diinginkan atau sebagai jalan usaha untuk menjadi atau memperoleh kedudukan (pekerjaan) yang lebih. Sedangkan batu sandungan adalah pendidikan sebagai batu penghalang, misal pekerjaan kita tidak sesuai dengan jurusan, atau kita merasa sekolah hanya membuang-buang uang.
Marry Riana berhasil membuktikan bahwa kita bisa sukses tanpa harus kuliah yang tinggi, kita bisa sukses tanpa harus bekerja di jalur linier, kita bisa sukses di usia muda. Tapi bukan berarti pendidikan itu tidak penting, bukan berarti dengan sekolah yang tinggi kita membuang-buang uang. Bukan berarti saat kita di usia masih muda atau sudah tua kita tidak akan sukses.