Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gamelan Sekaten, Salah Satu Warisan Kanjeng Sunan Kalijaga, Pembawa Kericuhan?

10 September 2024   14:23 Diperbarui: 10 September 2024   14:30 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gb. 2 Gapura Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft. pribadi)

Sejarah Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten adalah salah satu jenis gamelan Jawa yang hanya dimainkan pada pagelaran atau upacara adat tertentu. Upacara adat yang dimaksud adalah untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dikembangkan pada era Kasultanan Demak. Hal tersebut diawali dengan musyawarah Wali Sanga yang didalamnya hadir Kanjeng Sunan Kalijaga yang mengusulkan gagasan bahwa gamelan akan dijadikan media dakwah. Peristiwa itu terjadi sekitar abad ke- 16.

Mengenai teknis penggunaan gamelan sebagai media dakwah, Prajapangrawit dalam tulisannya menyebutkan bahwa Kanjeng Sunan Kalijaga dalam rangka merealisasikan tujuannya meng-Islam-kan tanah Jawa perlu memanfaatkan sarana budaya yang disukai, paling dekat dan dianggap pusaka oleh masyarakat Jawa. Yaitu gamelan. Gamelan tersebut ditabuh di dekat masjid dengan suara keras supaya terdengar sampai jauh, terlebih orang yang mendengarnya dari jarak dekat. Dapat dipastikan, mereka yang penasaran akan datang dan melihat wujud atau mendengar langsung dari sumber bunyi.

Demi mewujudkan rencana tersebut, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dengan dibantu ahli pembuat gamelan membuat seperangkat gamelan Sekaten dengan bentuk yang lebih besar daripada gamelan-gamelan biasa. Sehingga suara yang dihasilkan lebih keras dan nyaring.

Nah, pada masa Kasultanan Mataram, tidak ditemukan keterangan mengenai keberadaan gamelan Sekaten. Tetapi dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa dua raja pertama Mataram, yaitu Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak tidak menggunakan gelar Sultan ataupun Sunan/Susuhunan. Melainkan menggunakan gelar Panembahan yang kedudukannya dibawah raja. Sementara, gamelan Sekaten salah satu pusaka raja. Akibatnya, kedua Panembahan tersebut tidak menggunakan gamelan tersebut sebagi simbol keagungan.

Namun, begitu Hanyakrakusuma naik tahta bergelar Sultan Agung, beliau memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi Sekaten seperti pada jaman kerajaan Demak dahulu. Beliau memerintahkan ahli pembuat gamelan kerajaan untuk membuat gamelan "baru" yang memiliki karakter suara yang sama dengan gamelan Sekaten Demak. Tahun pembuatan gamelan tersebut ditandai dengan sengkalan memet berupa ukiran nanas dan buah-buahan dalam satu wadah dengan sengkalan tahun 1566 Jawa atau 1644 Masehi jika dijabarkan berbunyi " rerengan wohwohan tinata sing wadhah". Satu tahun sebelum Sultan Agung wafat. Gamelan itu diberi nama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.

Gb. 2 Gapura Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft. pribadi)
Gb. 2 Gapura Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft. pribadi)

Akan tetapi, peristiwa penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membawa dampak yang luar biasa dalam hal sosio kultural.

(baca :  https://www.kompasiana.com/sarie/66ab3e31c925c430731a2972/dari-arsip-anri-cerita-sejarah-perjanjian-giyanti-masih-bisa-dinikmati-sampai-saat-ini). Salah satunya dalam pelestarian gamelan Sekaten. Karena kasultanan Mataram dipecah/dibagi menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka gamelan Sekaten yang notabene menjadi pusaka raja harus juga dibagi menjadi dua dengan kondisi yan tidak lengkap. 

Kasultanan Yogyakarta mendapatkan Kyai Guntur Madu, Kasunanan Surakarta mendapatkan Kyai Guntur Sari. Akibatnya, dua kerajaan itu berupaya melengkapi gamelan Sekaten tersebut dengan membuat duplikat yang dikenal dengan istilah putran. Kasultanan Yogyakarta melalui Hamengkubowono I membuat putran Kyai Guntur Sari yang diberi nama Kyai Naga Wilaga. Sementara Kasunanan Surakarta melalui Pakubuwana III membuat putran Kyai Guntur Madu dan diberi nama yang sama.

Gamelan yang luar biasa tersebut sampai sekarang hanya ditabuh saat upacara Sekaten, dan bersatutus sebagai gamelan Pakurmatan, karena tidak digunakan pada kegiatan pagelaran kebudayaan secara umum, melainkan hanya pada saat-saat prosesi penting atau sakral.

Perayaan Sekaten di Solo

Gb. 3 Beberapa penjual dagangan legend Sekaten di area pelataran Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft.pribadi)
Gb. 3 Beberapa penjual dagangan legend Sekaten di area pelataran Masjid Agung Kasunanan Surakarta (ft.pribadi)
Acara Sekaten merupakan perayaan tahunan di kota Solo sejak abad ke -15 dan merupakan tradisi untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan Hajad Dalem. Pagelaran Sekaten diikuti kegiatan pasar malam selama sebulan penuh. Berhubung tahun 2024 alun-alun utara yang biasa dipakai untuk kegiatan pasar malam sedang direnovasi, maka pasar malam dipindah ke area taman Sriwedari. 

Sedangkan gamelan Sekaten tetap berada di lingkungan Masjid Agung Surakarta. Hal-hal yang dijual disana masih sama. Antara lain telur asin, pecut, kembang setaman, kapur sirih dan kelengkapannya. Puncak acara tersebut diakhiri dengan Grebeg Mulud. Sebuah gunungan besar yang terbuat dari beras ketan, buah-buahan, makanan dan sayur-sayuran yang setelah dido'akan dan dikirab dari Kamandungan menuju pelataran Masjid Agung untuk diperebutkan masyakarat.

Gb. 4 Salah satu wahana permainan di pasar malam yang berlokasi di Sriwedari (ft.pribadi)
Gb. 4 Salah satu wahana permainan di pasar malam yang berlokasi di Sriwedari (ft.pribadi)

Kericuhan di Bangsal Sekati

Kemarin siang, tepatnya hari Selasa 9 September 2024 gamelan Sekaten ditabuh untuk pertama kali. Menurut kepercayaan yang sudah sekian lama. Jika gamelan Sekaten ditabuh akan turun hujan, meskipun kemarau panjang. Hal tersebut terjadi pada kemarin sore. Solo diguyur hujan, setelah sekian lama musim kemarau. Entah hal itu hanya kebetulan atau memang benar adanya. Wallahu A'alm Bishawab. 

Ketika gamelan Sekaten, Kyai Guntur Madu ditabuh di Bangsal Sekati, ada hal yang benar-benar tidak terduga. Dilansir dari TribunSolo.com (9 September 2024). Salah satu menantu SISKS Pakubuwana XIII Hangabehi yang bernama KRA Rizki Baruna Aji Diningrat beserta sejumlah orang yang mengenakan beskap putih tiba-tiba mendatangi Bangsal Sekati dan mendorong salah satu abdi dalem pengrawit yang bernama KRT Rawang yang saat itu berada tepat di pintu masuk Bangsal. 

Hal itu dipicu sang menantu yang merasa kecewa, mengapa gamelan sudah ditabuh, sedangkan dirinya belum berada di lokasi. Padahal beliau yang mendapat mandat dari Sinuwun, kapan gamelan Sekaten harus ditabuh (sambil menunjukkan sebuah surat dengan kop Kasunanan).

Insiden tersebut memicu abdi dalem dan kerabat keraton lainnya yang saat itu berada di lokasi. Bahkan sampai ada seseorang yang mencekik leher sang menantu Sinuwun hingga keluar dari Bangsal. Insiden tidak berhenti sampai di situ. 

Setelah sang menantu keluar dari Bangsal, dengan suara lantang memprotes sejumlah abdi dalem yang berada di lokasi. Aksi dorong mendorong pun terjadi. Dengan luapan emosi yang memuncak Rizki akhirnya keluar dari pelataran masjid Agung setelah ditenangkan beberapa anggota TNI yang bertugas disana.

Sungguh, sebuah tontonan yang sangat memalukan dan tidak diharapkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Solo. Hanya karena kesalahpahaman saja, sampai ada kejadian seperti itu dan terjadi di kota budaya. Masyarakat hanya ingin melihat cara keraton tidak diwarnai gesekan-gesekan apapun. Semua dalam suasana hangat dan rukun. Bersama-sama menjaga kelestarian adat dan budaya yang ada. 

Semoga kejadian ini cukup sekali dan semua pihak bisa berlapang dada untuk saling memaafkan. Menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua pihak.  Sehingga kedepan, setiap kali ada acara atau kegiatan, koordinasi dan persiapan sangat matang. Supaya kegiatan berjalan dengan lancar dan sukses dari awal sampai selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun