Ketika bercerita mengenai Pangeran Purbaya, kita akan menemukan tiga nama. Yaitu :
- Pengeran Purbaya dari Mataram yang nama kecilnya adalah Joko Umbaran.
- Pangeran Purbaya dari Banten yang notabene adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa.
- Pangeran Purbaya dari Kartasura putra dari Pakubuwana I (Raja Kartasura 1705 -- 1719).
Namun pada kesempatan kali ini, dibatasi pada Pangeran Purbaya yang masa kecilnya bernama Joko Umbaran. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa pada suatu ketika Ki Ageng Giring mendapat wahyu barang siapa bisa menemukan kelapa muda "istimewa" dan mampu meminum airnya sampai habis dalam satu tengguk, maka si peminum dapat menurunkan raja-raja Jawa. Dan tanpa sengaja Ki Ageng Pemanahan yang saat itu bertamu ke rumah Ki Ageng Giring menemuan kelapa muda "istimewa: tersebut dan karena haus dapat mengabiskan airya dalam sekali tenggak pada saat Ki Ageng Giring tidak berada di tempat.
Bukan main terkejutnya Ki Ageng Giring ketika beliau menemui Ki Ageng Pemanahan dan mengetahui hal tersebut sudah terjadi. Kemudian beliau Ki Ageng Giring menceritakan wahyu kelapa muda kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahanpun merasa sangat bersalah, karena tanpa permisi langsung menghabiskan air kelapa muda yang ternyata ada wahyu dibaliknya.
Tidak berapa lama dari peristiwa tersebut, Ki Ageng Pemanahan lalu menikahkan putranya yang bernama Danang Sutawijaya dengan anak perempuan Ki Ageng Giring yang bernama Niken Purwosari atau Rara Lembayung. Pernikahan tersebut semakin mendekatkan keduanya sebagai sahabat dan membangun kekuatan politik. Pernikahanpun berlangsung dan tidak berapa lama sang istri mengandung. Namun, karena wajah sang istri yang tidak cantik, maka Danang Sutawijaya pulang ke Mataram. Karena beliau adalah calon raja besar Mataram dan malu jika mempunyai istri yang tidak cantik parasnya. Sedangkan menurut kisah lainnya Danang Sutawijaya tidak mau mempunyai istri yang usianya lebih tua.
Ternyata sampai Rara Lembayung, putri Ki Ageng Giring melahirkan, Danang Sutawijaya tidak kembali ke Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul dimana mereka tinggal. Maka anak laki-laki yang dilahirkan diberi nama Jaka Umbaran. Jaka biasa dipakai untuk anak laki-laki dan umbaran artinya yang diterlantarkan.
Semakin hari Jaka Umbaran tumbuh menjadi anak laki-laki yang tegap dan gagah berani. Ia yang beranjak dewasa mulai menanyakan perihal siapa ayah kandungya. Ada dua versi dalam cerita ini. Yang pertama, sang Ibu yang kini bergelar Kanjeng Ratu Giring tidak sampai hati kepada sang putra dan kemudian memberitahu siapa ayah kandungnya. Yang kedua sang Ibu memberitahu dengan sebuah teka-teki : " Ayahmu adalah pemilik alun-alun di sebuah kerajaan".
Setelah melalui perjalanan Panjang, sampailah Jaka Umbaran ke kraton Kotagede. Dengan usaha membuat onar, sehingga ditangkap prajurit kraton, akhirnya ia bertemu dengan Danang Sutawijaya yang sudah bergelar Panembahan Senopati. Namun, usaha untuk diakui sebagai anak tidak semudah itu. Panembahan Senopati mengajukan teka-teki juga: "aku memiliki sebuah keris, tapi telanjang tanpa warangka. Tanyakanlah pada Ibumu, dimana warangka keris ini berada." Teka-teki tersebut memaksa Jaka Umbaran untuk kembali menemui Ibunya.
Singkat cerita, setibanya di rumah, Jaka Umbaran menceritakan perjalanannya termasuk teka-teki dari Panembahan Senopati. Sang Ibu ternyata mengetahui jawaban dari teka-teki tersebut, bahwa jawabannya adalah keris tersebut sebagai perantara penutup rasa malu Panembahan Senopati pada Kanjeng Ratu Giring yang tidak layak menjadi istri seorang raja. Kemudian sang Ibu, Kanjeng Ratu Giring berucap,"kanggo kamulyamu, Le" (demi kemulyaanmu, Anakku).
Dengan cepat Kanjeng Ratu Giring maju kearah sang putra kesayangan dengan kondisi keris yang masih terhunus tepat ke arah dadanya. Dan cukup sekali dorongan keris tersebut menusuk dada sang istri pertama Panembahan Senopati. Ternyata jawaban dari teka-teki itu adalah : Kanjeng Ratu Giring yang harus menjadi sarung keris pusaka tersebut. Sehingga kematian Kanjeng Ratu Giring itulah yang diminta oleh Panembahan Senopati.
Setelah peristiwa kematian sang Ibu yang begitu cepat, Jaka Umbaran kembali ke Kotagede dan menyampaikan tragedi yang harus terjadi kepada sang ayah demi mendapat pengakuan. Karena teka-teki yang diberikan sudah terjawab, maka Jaka Umbaran diakui sebagai anak kandung oleh Panembahan Senopati dan bergelar Pangeran Purbaya. Sekali lagi, menurut cerita Babad Tanah Jawi kesaktian Pangeran Purbaya setara dengan Raden Rangga salah satu putra Panembahan Senopati yang mati muda.
Namun, meskipun Pangeran Purbaya adalah anak tertua, namun tidak mendapat posisi sebagai putra mahkota. Dari cerita ini ada dua versi juga. Yang pertama karena status keturunan Pangeran Purbaya menyebabkan Panembahan Senopati kurang berkenan. Karena di kemudian hari Pangeran Purbaya mempunyai putra tunggal bernama Raden Mas Jolang hasil pernikahannya dengan Ratu Mas Ayu, yang merupakan adik perempuannya sendiri. Yang kedua, Pangeran Purbaya menolak posisi  tersebut karena sakit hati kepada sang ayah. Sehingga putra mahkota jatuh pada Raden Mas Jolang yang dikemudian hari bergelar Panembahan Hanyakrawati atau Sultan Agung. Meskipun tidak menjadi seorang raja, Pangeran Purbaya tetap terlibat dalam pemerintahan Mataram.
Pangeran Purbaya hidup sampai masa pemerintahan Amangkurat I, putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Beruntungnya saat itu Pangeran Purbaya mendapat perlindungan dari Ibu suri, janda Sultan Agung.
Pangeran Purbaya meninggal pada bulan Oktober 1676 disaat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan yang dipimpin oleh Adipati Anom putranya untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki). Daerah tersebut merupakan markas orang-orang Makassar dan Madura. Perang besar terjadi di desa Gogodog dan Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur akibat dikeroyok orang-orang Makassar dan Madura.
Setelah meninggal, mengapa Pangeran Purbaya tidak dimakamkan di Pajimatan Imogiri? Hal tersebut karena Pangeran Purbaya ingin dikenang sebagai rakyat biasa. Sebegitu rendah hatinya beliau. Meski putra seorang raja besar dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Untuk itulah beliau dimakamkan di area pemakaman Wotgaleh, Berbah, Sleman, Yogyakarta.
Sekilas Masjid Sulthoni Wotgaleh
Di tengah area persawahan dekat Bandara Adisutjipto lama, terdapat sebuah masjid. Yang bernama masjid Sulthoni Wotgaleh yang dibangun sekitar tahun 1600 M. Masjid ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Bupati Sleman dengan no. 14.7/Kep.KDH/A/2027 tepatnya pada tanggal 6 Pebruari 2017.
Seperti umumnya bangunan masjid di Jawa, menggunakan atap berbentuk tajug. Tipe tajug lawakan teplok, yaitu bangunan dengan atap tajug di bagian tengah dan mempunyai atap penangkap di keempat sisinya. Bagian atas atap panangkap terdapat blandar lumajang yang menempel pada sunduk kili pamidhangan atau saka guru yang berwarna hijau tua.
Di samping kiri dan kanan ruang utama masjid terdapat ruang yang disebut pawestren (ruang untuk sholat perempuan) dan ruangan untuk takmir masjid. Sedang di bagian depan terdapat serambi berbentuk limasan dengan saka(tiang) utama berjumlah delapan buah, di bagian luar terdapat atap atau emper. Bagian serambi masih ada bedug lama sebagai sumber bunyi dan penanda waktu sholat telah tiba, tentunya sebelum alat pengeras suara ada. Bangunan masjid Sulthoni Wotgaleh sudah mengalami perubahan yang signifikan. Salah satunya adalah bagian lantainya yang sudah diganti dengan keramik berwarna putih.
Makam Pangeran Purbaya
Tempat berdirinya salah satu masjid kuno di Yogyakarta ini satu lokasi dengan area pemakaman yang keramat karena memiliki aura dan kekuatan magis. Konon, apapun yang melintas di atas makam tersebut akan takluk dan menghujam bumi. Dari burung, kelelawar sampai pesawat terbang. Seperti peristiwa sekitar tahun 2015, saat jatuhnya pesawat T50 Golden Eagle di kompleks Lanud Adisucipto. Walaupun sampai saat ini belum diketahui penyebab jatuhnya pesawat buatan Korea Selatan karena tim investigasi dari Mabes TNI AU tengah mencari data untuk mengungkap penyebabnya. Namun, beberapa warga di sekitar pemakaman sempat melihat pesawat tersebut melintas diatas makam. Wallahu A'lam Bishawab.
Lalu, siapakah yang bersemayam di makam tersebut ? Adalah makam Pangeran Purbaya  I (putra dari Panembahan Senopati) yang berdampingan dengan sang istri. Dan di sebelah utara adalah makam sang Ibu, Kanjeng Ratu Giring. Selain makam keluarga Pangeran Purbaya, juga terdapat makam keluarga Sultan Hamengkubuwana II dan IV.
Kata Wotgaleh berasal dari kata wot yang artinya jembatan atau alat untuk menyeberangi/meniti sedangkan galeh adalah hati atau perasaan. Sehingga Wotgaleh berarti tempat bagi orang-orang yang ingin menguatkan hati dalam pencapaian lahir batin.
Di kompleks pemakaman Wotgaleh ini setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon banyak didatangi para peziarah baik dari Yogyakarta atau diluar Yogyakarta. Mereka yang datang mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Ada yang untuk meditasi, semedi, tirakat atau berdzikir, berdo'a kepada Allah SWT supaya mengampuni dosa-dosa yang bersemayam disana dan menerima amal ibadahnya. Meski pemakaman kuno, namun kondisinya bersih dan terawat, sehingga membuat para peziarah betah berlama-lama di lokasi tersebut.
Sampai saat ini, cerita tentang Pangeran Purbaya jarang diungkap dan sulit mendapatkan literasinya, entah kenapa. Padahal di lokasi Wotgaleh, Berbah, Sleman, Yogyakarta bukti sejarah itu ada. Menengok arsip dan cerita sejarah masa lalu untuk menghargai masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H