Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nitisari Guru Laku

22 Mei 2024   11:57 Diperbarui: 22 Mei 2024   12:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gb 1. Umbul Donga" Raga Taya"(ft. pribadi)

Malam itu Sabtu, 18 Mei 2024 Pendopo GPH Joyokusuma Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta terlihat tidak seperti biasanya. Suasana terang, satu per satu orang berdatangan. Setelah mengisi  buku tamu yang sudah disediakan panitia. Mereka dipersilakan duduk di kursi yang sudah disediakan.

Kira-kira jam 19.30 wib suara gendhing manguyu-uyu sudah terdengar. Istilah manguyu-uyu adalah ucapan selamat datang bagi tamu-tamu yang datang atau hadir dalam suatu acara. Ya...malam itu acara Nitisari Guru Laku, pengetan 100 hari murud kasedanipun Ki Empu Blacius Subono dengan mengusung tema Surya Gumlewang, yang kurang lebih mempunyai arti kilas balik perjalanan dalam memperingati 100 hari meninggalnya Ki Empu Blacius Subono. Sedang Surya Gumlewang artinya matahari yang bersinar.

Siapa Blacius Subono ? Sampai peringatan 100 hari meninggalnya diperingati di sebuah Instansi pemerintah yang notabene adalah perguruan tinggi seni yang berada di Surakarta. Blacius Subono atau lebih akrab dengan panggilan Mas Bono, Pak Bono atau Pak'e  lahir di Klaten, 3 Februari 1954 dan mewarisi keahlian mendalang dari sang ayah. Sejak kecil Bono sudah terbiasa menyaksikan pertunjukan wayang karena sering menemani ayahnya mendalang dan belajar menabuh gamelan. Bahkan, Bono dikenal sebagai dalang cilik yang rajin pentas di muka umum saat berusia 12 tahun. Selepas SMP, ia menempuh pendidikan di Konservatori Karawitan Surakarta. Kemudian, Bono menempuh pendidikan sarjana jurusan Seni Pedalangan dan program pascasarjana Penciptaan Seni minat Pewayangan Nusantara di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Lingkungan keluarga dalang dan pendidikan formal seni karawitan membentuk keahliannya sebagai pengrawit, dalang, penata musik, komponis, dan penulis naskah sekaligus. Sebagai seniman yang berlatar seni tradisi, Bono memperluas ruang kreativitasnya pada dua dimensi budaya yakni tradisi dan budaya masa kini. Ia sangat piawai merancang konstruksi jalinan suara gending-gending masa lalu ke dalam wacana karakteristik baru yang lebih dramatis. Ragam inovasinya diterapkan dalam karya-karyanya, contohnya garapan gending pakeliran baru pada Wayang Kancil, Wayang Sandosa, Wayang Wahyu, dan Wayang Multimedia. Tak heran, ia disebut sebagai 'pengrawit edan' oleh kawan sesama seniman.

Gb 2 .
Gb 2 ."Surya Gumlewang" (ft pribadi)

Ia menggarap penataan gending untuk berbagai seniman kenamaan, seperti dalang Ki Mantep Sudharsono, Ki Anom Suroto--seniman tari Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Elly dan Deddy Luthan. Bono juga telah diundang untuk pentas di Amerika Serikat dan Kanada, Ingris, Perancis, Italia, Belanda, Australia, Singapura, Hongkong, dan Jepang. Atas kiprahnya, Bono menerima Satya Lencana Budaya dari Lembaga Kebudayaan Jawa, Anugerah Seni dari Mendikbud RI tahun1996 (kelola.or.id). Berdasar prestasi itu pula, seorang Blacius Subono mendapat gelar empu yang disampaikan pada Dies Natalis ISI Surakarta tahun lalu, yaitu tahun 2023.

Namun, Sabtu pagi 10 Pebruari 2024 menjadi cerita yang berbeda. Blacius Subono meninggal dunia usai pentas di kampanye terakhir calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Solo, Jawa Tengah. Sebelum berpulang, dhalang senior tersebut memerankan tokoh Semar dalam pentas wayang orang " Durga Mendhak, Sang Kala Sirna." yang acaranya digelar di depan Balai Kota Solo.

Blacius Subono meninggal dunia masih berdiri di atas panggung. Sebelum menhembuskan nafas terakhirnya, sang dhalang hendak menyerahkan wayang kulit dengan tokoh Wisanggeni kepada Ganjar dan Mahfud. Tiba-tiba saja ambruk dan menimpa punggung Ganjar. Seketika orang yang berada di sekitar membantunya untuk berdiri dan membawanya ke RSUD Moewardi. Dan ternyata pentas tersebut menjadi pentas terakhir, Blacius Subono meninggal di rumah sakit dengan riwayat jantung. Ketika meninggal, sang dhalang sudah purna tugas sebagai dosen Jurusan Pedalangan ISI Surakarta.

Kembali pada acara pengetan 100 hari wafat beliau di pendopo GPH Joyokusuma ISI Surakarta. Acara awali dengan Umbul Donga " Raga Taya" yang ditarikan oleh Wahyu Santosa Prabowo, Daryono, Nuryanto, Agung Kusuma Widagdo, Dorothea Quin dan Jarot Budi Darsono. Dilanjut dengan fragmen "Pendadaran Sokalima" oleh Ki Nindyo Asto Hastungkro dan Ki Pradhana Dendi Prakosa. Acara ketiga adalah konser karawitan dan tari "Surya Gumlewang" yang disajikan oleh Suraji, Ali Marsudi, Agus Prasetyo, Wasi Bantolo dan Rambat Yulianingsih. Sebagai puncak acara pengetan 100 hari meninggalnya Blacius Subono adalah konser karawitan Pakeliran " Sotya Gandewa" oleh Ki Cahyo Kuntadi yang menceritakan tentang Bambang Ekalaya.

Gb 3.
Gb 3. "Sotya Gandhewa"(ft.pribadi)

Ekalaya adalah seorang putra dari kerajaan Paranggelung yang datang dan ingin berguru kepada Resi Durna. Namun keinginan dan cita-cita tersebut bukan gayung bersambut, karena Ekalaya ditolak oleh Resi Durna dengan alasan ia tidak boleh menerima murid lain selain Pendawa dan Kurawa. Hal tersebut tidak menjadikan Ekalaya putus ada. Setelah kembali ke Paranggelung ia membuat patung dari tanah liat sangat mirip dengan Resi Durna.

Dengan semangat yang tinggi, setiap hari ia berguru kepada patung tersebut sambil membanyangkan seolah-olah ia benar-benar berhadapan dan berguru kepada Sang Resi. Dengan kesungguhannya, akhirnya Ekalaya menjadi pemanah yang handal dengan kemampuan yang lebih baik daripada Pandawa dan Kurawa. Hal tersebut dibuktikan dengan peristiwa ketika Ekalaya memanah mulut seekor anjing dengan tujuh anak panah yang ia lepaskan sekaligus.

Namun, hal itu kemudian ketahui oleh Pandawa dan Kurawa ketika mereka sedang berburu. Arjuna segera meminta penjelasan kepada sang guru. Kesungguhan Ekalaya dalam berlatih memanah kepada patung yang sangat mirip dengan Resi Durna dianggap sebuah tindakan yang lancang dan tidak terpuji. Akibatnya, Sang Resi meminta imbalan kepadanya untuk mempersembahkan salah satu ibu agar bisa diakui sebagai muridnya.

Tanpa pikir panjang dan tidak ada kecurigaan apapun bahwa sebenarnya hal tersebut dilakukan Sang Resi agar tidak ada yang bisa menandingi Arjuna sebagai pemanah terbaik, Ekalayapun menyerahkan salah satu ibu jarinya. Demi menghindari pertengkaran, maka Resi Durna mempersaudarakan keduanya dengan memberi Ekalaya dengan Palgunadi dan Arjuan dengan nama Palguna.

Blacius Subono memang sudah meninggal, namun sejatinya Blacius Subona berada diantara semua. Semangat dan kreativitas dan dedikasinya untuk seni akan selalu ada di hati kami. Semoga Tuhan Yang Maha Esa mengampuni dosa-dosanya dan memberikan tempat yang layak dan jauh lebih baik daripada tempat saat hidup di dunia. Aamiin3...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun