Bagi masyarakat Jawa, Loro Blonyo bukan sesuatu yang asing. Adalah patung berbentuk sepasang figur pengantin Jawa yang diinterpretasikan sebagai simbol pengantin yang dirias atau didandani agar keduanya saling tertarik dan bisa meluluhkan hati.
Loro Blonyo berasal dari Bahasa Jawa: loro yang berarti dua dan blonyo berarti luluran/blonyohan.
Jika diartikan dalam bentuk kata kerja bahasa Jawa "amblonyoi werna jenar" artinya melumuri dengan warna kuning.
Selain itu Loro Blonyo juga sebagai simbol "wadhah tumuruning wiji" yang berarti tempat bibit bertumbuh atau lambang kesuburan dan keharmonisan rumah tangga, sehingga sering dijumpai patung tersebut diletakkan di dekat pengantin. Dengan harapan pengantin segera diberi momongan. Sebagai tolak bala, kedua wajah patung diblonyo/dibaluri dengan warna putih.
Menurut catatan sejarah patung Loro Blonyo berkaitan erat budaya dan strata masyarakat. Patung tersebut ada sejak masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang memerintah kerajaan Mataram antara tahun 1476 (portal informasi Indonesia). Hanya kaum priyayi etnis Jawa saja yang memiliki dan menempatkannya di senthong, area pribadi bagi pasangan suami istri.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman patung Loro Blonyo banyak dijumpai di rumah-rumah Joglo, ditempatkan di sisi kanan kiri pintu masuk atau ruang keluarga sebagai bagian interior ruangan.
Sejarah singkat dibalik Loro Blonyo
Menurut tesis Ersnathan Budi Prasetyo yang berjudul "Loro Blonyo Studi Bentuk dan Perkembangan Fungsi Serta Aplikasinya pada Media Lain Dalam Masyarakat di Surakarta", dikisahkan, karena di kahyangan Batara Guru merasa kesepian, maka diciptakankan wanita cantik dan diberi nama Retno Dumilah atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sri.
Karena saking cantiknya Batara Guru justru jatuh cinta dengan ciptaannya tersebut. Namun, Dewi Sri menolak secara halus dengan mengajukan tiga syarat. Dan, nahasnya tiga syarat tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Batara Guru.
Merasa diremehkan, Batara Guru marah dan mengutus Kala Gumarang untuk menyelidiki hal itu, karena Batara Guru merasa ada dewa lain yang menghalangi niatnya.
Begitu melihat kecantikan Dewi Sri, sang utusan pun terpesona dan langsung jatuuh cinta. Kemana pun Dewi Sri pergi pasti diikuti. Mengetahui hal itu, Dewi Sri marah, dan sang utusan dikutuk menjadi seekor babi.
Kala Gumarang yang sudah berubah menjadi babi tetap mengejar Dewi Sri dari kahyangan sampai turun ke bumi. Di tempat Dewi Sri tinggal tumbuhlah padi dan tanaman lain yang memancarkan sinar.
Di tempat lain, Prabu Mangkukuhan dari kerajaan Medang melihat kilau cahaya yang terpancar dari seorang wanita cantik. Ketika mengetahui bahwa itu Dewi Sri, maka Batara Wisnu menitis pada Prabu Mangkukuhan dan mengambil Dewi Sri menjadi istrinya. Menitisnya Batara Wisnu ke dalam sosok Prabu Mangkukuhan ada yang menyebut sebagai Raden Sadana. Dan masyarakat yang ditinggalkan Dewi Sri lebih memanfaatkan tanaman padi dan menjaganya dari ancaman babi serta hama lainnya.
Kisah tersebut diambil dari mitologi Jawa dan Nusantara tentang Dewi Sri sebagai dewi padi atau dewi kesuburan. Sedangkan Raden Sadana yang notabene pengejawantahan Dewa Wisnu lebih dikenal sebagai pemelihata kelestarian semesta. Keduanya sebagai pasangan suami istri yang membawa misi ke dunia untuk menolong manusia dalam menggapai kesejahteraan hidup.
Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana adalah saudara kembar. Masyarakat Jawa mengistilahkan dengan kedhana-kedhini (kembar laki perempuan). Keduanya saling mencintai dan berkeinginan menikah. Karena mereka sekandung, keinginan tersebut tidak bisa terlaksana kemudian Raden Sadana bunuh diri dengan harapan bisa reinkarnasi menjadi manusia lain dan menikah dengan Dewi Sri.
Setelah Raden Sadana meninggal, Dewi Sri hidup mengembara dan dikejar-kejar Batara Kala. Karena welas asih para dewata, Dewi Sri ditolong oleh petani. Sebagai balas jasa, dengan kesaktian yang dimiliki, Dewi Sri memberi hasil sawah berupa padi yang melimpah. Dan para petani yang sudah diberi kelimpahan membalas kebaikan dengan mengabadikan Dewi Sri dan Raden Sadana dalam bentuk patung yang diletakkan berdampingan dengan pengantin.
Karya tari Loro Blonyo
Berdasarkan latar belakang tersebut Sri Setyoasih, S.Kar.,M.Hum (salah satu dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta) tergelitik untuk membuat sebuah karya tari. Bukan tari pasangan tapi kelompok. Dengan lima penari putri dan satu penari putra.
Penari putri melambangkan Dewi Sri dengan mengenakan busana dodot ageng warna hijau botol dengan motif alas-alasan, sampur, kain samparan warna putih, slepe, epek timang serta buntal. Untuk asesoris menggunakan giwang, cundhuk jungkat, cundhuk mentul yang terbuat dari janur. Seluruh wajah dibaluri dengan warna putih dengan paes, sedangkan properti tari menggunakan semacam alat pertanian serta rambut disanggul.
Penari putra melambangkan Raden Sadana atau Batara Wisnu. Menggunakan busana kampuh ageng warna hijau botol dengan motif alas-alasan, celana selutut dari bahan beludru, sampur warna putih, slepe, epek timang, keris, kalung, buntal, kuluk kanigara dengan hiasan padi dan seluruh wajah dibaluri dengan warna putih.
Dodot warna hijau dengan motif alas-alasan, hiasan padi pada kuluk, cudhuk mentul dari janur serta property tari yang terbuat dari semacam alat pertanian sebagai simbol kemakmuran, kesuburan dan kesejahteraan.
Karya tari tersebut dipentaskan untuk kedua kalinya di pendopo Ageng GPH Joyokusumo Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dengan iringan hidup dalam rangka Dies Natalis ISI Surakarta ke-59 tahun 2023.
Harmonisasi antara gerak tari dan iringan menciptakan peralihan suasana yang apik dari keseluruhan karya yang kadang diselingi gerak-gerak gecul (lucu) dari para penari mampu menghipnotis para penonton dan tamu undangan yang hadir. Sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh koreografer kepada penonton sampai.
SALAM BUDAYA...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H