Begitu melihat kecantikan Dewi Sri, sang utusan pun terpesona dan langsung jatuuh cinta. Kemana pun Dewi Sri pergi pasti diikuti. Mengetahui hal itu, Dewi Sri marah, dan sang utusan dikutuk menjadi seekor babi.
Kala Gumarang yang sudah berubah menjadi babi tetap mengejar Dewi Sri dari kahyangan sampai turun ke bumi. Di tempat Dewi Sri tinggal tumbuhlah padi dan tanaman lain yang memancarkan sinar.
Di tempat lain, Prabu Mangkukuhan dari kerajaan Medang melihat kilau cahaya yang terpancar dari seorang wanita cantik. Ketika mengetahui bahwa itu Dewi Sri, maka Batara Wisnu menitis pada Prabu Mangkukuhan dan mengambil Dewi Sri menjadi istrinya. Menitisnya Batara Wisnu ke dalam sosok Prabu Mangkukuhan ada yang menyebut sebagai Raden Sadana. Dan masyarakat yang ditinggalkan Dewi Sri lebih memanfaatkan tanaman padi dan menjaganya dari ancaman babi serta hama lainnya.
Kisah tersebut diambil dari mitologi Jawa dan Nusantara tentang Dewi Sri sebagai dewi padi atau dewi kesuburan. Sedangkan Raden Sadana yang notabene pengejawantahan Dewa Wisnu lebih dikenal sebagai pemelihata kelestarian semesta. Keduanya sebagai pasangan suami istri yang membawa misi ke dunia untuk menolong manusia dalam menggapai kesejahteraan hidup.
Namun ada versi lain yang menyebutkan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana adalah saudara kembar. Masyarakat Jawa mengistilahkan dengan kedhana-kedhini (kembar laki perempuan). Keduanya saling mencintai dan berkeinginan menikah. Karena mereka sekandung, keinginan tersebut tidak bisa terlaksana kemudian Raden Sadana bunuh diri dengan harapan bisa reinkarnasi menjadi manusia lain dan menikah dengan Dewi Sri.
Setelah Raden Sadana meninggal, Dewi Sri hidup mengembara dan dikejar-kejar Batara Kala. Karena welas asih para dewata, Dewi Sri ditolong oleh petani. Sebagai balas jasa, dengan kesaktian yang dimiliki, Dewi Sri memberi hasil sawah berupa padi yang melimpah. Dan para petani yang sudah diberi kelimpahan membalas kebaikan dengan mengabadikan Dewi Sri dan Raden Sadana dalam bentuk patung yang diletakkan berdampingan dengan pengantin.
Karya tari Loro Blonyo
Berdasarkan latar belakang tersebut Sri Setyoasih, S.Kar.,M.Hum (salah satu dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta) tergelitik untuk membuat sebuah karya tari. Bukan tari pasangan tapi kelompok. Dengan lima penari putri dan satu penari putra.
Penari putri melambangkan Dewi Sri dengan mengenakan busana dodot ageng warna hijau botol dengan motif alas-alasan, sampur, kain samparan warna putih, slepe, epek timang serta buntal. Untuk asesoris menggunakan giwang, cundhuk jungkat, cundhuk mentul yang terbuat dari janur. Seluruh wajah dibaluri dengan warna putih dengan paes, sedangkan properti tari menggunakan semacam alat pertanian serta rambut disanggul.
Penari putra melambangkan Raden Sadana atau Batara Wisnu. Menggunakan busana kampuh ageng warna hijau botol dengan motif alas-alasan, celana selutut dari bahan beludru, sampur warna putih, slepe, epek timang, keris, kalung, buntal, kuluk kanigara dengan hiasan padi dan seluruh wajah dibaluri dengan warna putih.